Jakarta, ADHInews – Saat ini Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tengah bertugas memeriksa laporan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh para hakim MK. Pemeriksaan tersebut dilakukan berdasarkan laporan dari 18 pihak yang menduga terjadi pelanggaran etik oleh para hakim dalam memutusakan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
President Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia (ADHI) Dr. Yetti Suciaty, SH,MBA mengharapkan MKMK yang diketuai Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H dapat memberikan putusan yang kuat dalam mengadili dugaan pelanggaran kode etik dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. “Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi harus tegak lurus dalam menegakkan dan menjaga Konstitusi di Tanah Air,” ujar Yetti di Jakarta, Kamis (02/11/2023).
Menurutnya, jika dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim MK tidak diselesaikan dengan tuntas maka berpotensi menggerus kepercayaan masyarakat atas hasil pemilihan umum (Pemilu) 2024. Lebih lanjut Woman Entepreneur itu mengatakan jika dalam persidangan ditemukan perselingkuhan politik terhadap pengambilan keputusan uji materil UU Pemilu terkait batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), maka Ketua MK harus mendapatkan sanksi yang setimpal termasuk diberhentikan tidak hormat.
Lebih lanjut Yetti mengatakan, dalam pemeriksaan terhadap hakim MK, Majelis Kehormatan dapat menggunakan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam memutuskan kasus dugaan pelanggaran kode etik sembilan hakim konstitusi. Dalam UU tersebut menyebutkan bahwa ”seorang hakim … wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa”.
Ditempat terpisah Vice President ADHI Dr. H.M. Marsidin Nawawi, S.H.,M.H mengatakan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangannya mengadili hakim MK seharusnya juga berwenang membatalkan putusan hakim yang dinyatakan bersalah. “Ini saatnya MKMK melakukan Landmark Decision. Jangan sampai orang beranggapan bahwa putusan hakim MK merupakan putusan malaikat yang tidak bisa disentuh,” ujar Marsidin Nawawi dalam sebuah diskusi.
Ia menyatakan tidak sependapat dengan sejumlah legislator yang akan mengajukan Hak Angket terhadap Mahkamah Konstitusi, mengingat lembaga yudikatif adalah lembaga independen dan lepas dari segala pengaruh termasuk DPR dan Mahkamah Agung. “Di MA sudah ada MKH, Sementara di MK sudah ada MKMK sebagai lembaga ad hoc,” ujar Nawawi.
“Yang kedua, sudah hampir dipastikan DPR yang saat ini dikuasai partai pemerintah tidak akan menyelesaikan masalah, namun sebaliknya akan menambah runyam masalah, yang berujung penolakan pada sidang pleno,” lanjut Mantan Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ini.
Menurut Nawawi, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi justru akan lebih efektif dalam menanangi perkara dugaan pelanggaran etik ini karena putusannya legal and binding dan besifat memaksa kepada presiden untuk melaksanakan putusan MKMK supaya mengeluarkan Kepres pemberhentian.