Jakarta, ADHInews – Kasus dugaan korupsi pertambangan ore nikel di Sulawesi Utara yang menjerat Eks Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba) Ridwan Djamaluddin terus menjadi pembicaraan publik. Sejumlah pihak berpendapat kasus tersebut masuk dalam wilayah administrasi karena seorang pejabat dapat mengeluarkan kebijakan atau diskresi pelayanan publik sepanjang berdasar hukum dan tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia (ADHI) secara khusus mengelar Focus Group Discussion (FGD) untuk Menelaah lebih dalam kasus tersebut dengan tema “Kriminalissi kebijakan pelayanan Publik” menyoal prosedural dan profesionalisme Kriminalisasi Diskreksi Minerba Kasus Ore nikel di Blok Mandiodo yang menjerat Eks Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba) Ridwan Djamaluddin.
Dalam sambutannya Presiden ADHI Dr. Yetti Suciaty, SH, MBA mengatakan kegiatan penambangan liar dalam kasus tersebut merupakan wilayah hukum tipiter dan bukan wilayah hukum tipikor sehingga apabila ada kesalahan atau kekeliruan diskresi, pejabat seharusnya diuji di PTUN dan bukan merupakan ranah pidana. “Kebijakan tidak bisa dikriminalisasi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan sebagai payung hukum. Jadi apabila terdapat pro kontra atau multitafsir penyidikan hendaknya diuji melalui pra peradilan,” ujar Yetti.
Presiden ADHI Dr. Yetti Suciaty, SH, MBA
Lebih lanjut Yetti menilai jaksa kurang cermat dan kurang teliti dalam menangani kasus Ore Nikel di Blok Mandiodo Sulteng. “Seharusnya lebih cermat dan dikaji lebih dalam karena mengandung aspek yang lebih luas yang bisa berdampak terhadap perekonomian nasional,” sambung woman entepreneur ini.
Hal senada juga disampaikan Ketua Dewan Pembina ADHI Dr. Adjat Sudradjat, S.H., M.H. yang juga mantan Jaksa Agung Muda intel khusus. Isu kriminalisasi kebijakan atau diskresi kerap dimunculkan oleh pihak yang merasa kebijakan atau diskresi di kriminalisasi atau dipidanakan, padahal menurutnya sudah dibuat dengan benar. Suatu kebijakan tidak dapat dikriminalisasi manakala tidak keluar dari tujuannya, sehingga tidak ada ruang ditindak pidanakan (tipikor ; suap/penyalagunaan wewenang/kebijakan, menguntungkan diri sendiri/orang lain atau suatu korporasi, merugikan negara keuangan/perekonomian).
“Suatu kebijakan atau diskresi dituangkan dalam bentuk Keputusan pejabat berwenang, apabila keputusan muatannya tidak sesuai dengan tujuan atau bertentangan dengan aturan diatasnya makan dapat digugat di Pengadilan TUN kecuali kebijakan atau diskresi tersebut disalahgunakan” ujarnya.
Menurut Adjat dalam kasus pertambangan nikel di Morowali blok Mandiodo, Sultra, Dirjen Minerba Kementrian ESDM telah mengeluarkan kebijakan/diskresi sebagai langkah penyederhanaan tata cara pemberian perizinan kegiatan usaha penambangan mineral batubara, dimana perusahaan atau pemegang Ijin UsahaPertambangan (IUP) dapat mekakukan kegiatan pertambangan berdasarkan Rencana KAB yang telah diajukan sampai degan dikeluarkannya persetujuan RKAB dalam kurun waktu 14 hari kerja sejak RAKB diajukan oleh perusahaan (Permen ESDM No.7/2020 jo UU No.3/2020).
Lebih lanjut mantan Jamintel itu mengatakan dalam ilmu hukum keputusan merupakan wujud dari suatu kebijakan, keputusan dan pelakunya akan masuk dalam ranah hukum administrasi negara. Hukum administrasi negara tentu harus dibedakan dengan hukum pidana yang mengatur sanksi pidana. “Dalam hukum administrasi negara tidak dikenal sanksi pidana, sanksi yang dikenakan kepada pelakunya hanya sanksi administrasi dan kebijakan dibatalkan,” tambah Adjat.
Untuk itu, lanjut Adjat, agar tidak menjadi opini publik terkait kriminalisasi kebijakan pertambangan ore nikel, harus segera di klir lewat gugatan pra peradilan melalui pengadilan negeri setempat.
Pada kesempatan yang sama, Vice Presiden ADHI Dr. H.M. Marsidin Nawawi, S.H.,M.H mengatakan perlunya pembentukan tim advokasi itu guna mengantisipasi segala kemungkinan yang dapat terjadi pasca dikeluarkannya kebijakan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang dilkukan oleh Dirjen Minerba.
Meyikapi kasus tersebut, lanjut Nawawi, perlu dicari jawaban atas sejumlah pertanyan. Seperti apakah benar telah terjadi kriminalisai terhadap kebijakan yang dilakukan oleh Dirjen Minerba, apakah benar kebijakan itu diambil untuk kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan lain. “Apakah benar kebijakan itu diambil guna melaksanakan perintah Presiden Jokowi untuk menyerhanakan perizinan dan UU Ciptakerja terutama terkait dengan penyederhanaan prizinan,” terangnya.
Vice Presiden ADHI Dr. H.M. Marsidin Nawawi, S.H.,M.H
Menurutnya, perkara tersebut sudah masuk ranah litigasi yaitu pada tahap penyidikan. Sehingga segala upaya hukum harus dilakukan melalui proses sesuai hukum. Seperti upaya permohonan uportunitas atau deponering, gugatan pra peradilan, mengajukan eksepsi, pembelaan atau pleidoi, banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
Nawawi menegaskan perkara itu harus dilakukan secara bersinergi antar penasihat hukum dan pihak – pihak terkait. “Mengingat perkaranya sama namun terdakwanya beberapa orang dengan peran yang berbeda,” tandasnya.
FGD menghadirkan narasumber antara lain Dr. H.M. Marsidin Nawawi, SH,MH selaku Vice President ADHI yang juga ex Hakim Tipikor, Ketua Dewan Pembina ADHI Dr. Ajat Sudrajat, SH,MH, Ketua DPD ADHI Sulawesi Tenggara Dr Laode M Bariun, S.H., M.H dan moderator Dr. Drs. H. Yadiman, SH,MH dengan Keynote Speach Presiden ADHI Dr. Yetti Suciaty, SH,MBA.