Jakarta, ADHInews – Penetapan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi sebagai tersangka kasus dugaan suap di KPK berbuntut panjang. Presiden Joko Widodo akan mengevaluasi secara menyeluruh terkait penugasan perwira TNI aktif dalam sejumlah jabatan sipil di kementerian dan lembaga.
Menurut Jokowi, evaluasi penugasan perwira TNI pada jabatan sipil dilakukan untuk mencegah penyelewengan dan korupsi. “Semuanya akan dievaluasi, tidak hanya masalah itu, semuanya, karena kita tidak mau lagi di tempat-tempat yang sangat penting terjadi penyelewengan, terjadi korupsi,” kata Presiden Jokowi.
Pakar Hukum Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia yang juga Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Dr. H. Marsidin Nawawi, SH, MH mendukung penuh rencana tersebut. “Nah ini yang kita tunggu ketegasan dari Jokowi, militer tidak perlu lagi ikut-ikutan menduduki jabatan sipil,” ujar Vice President ADHI Nawawi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin 31 Juli 2023.
Tidak hanya dari kalangan militar saja, Marsidin Nawawi juga meminta agar kalangan kepolisian juga menerapkan hal yang sama dan tidak terlibat dan menduduki jabatan-jabatan sipil. “Termasuk Polisi tidak usah ikut-ikutan menduduki jabatan sipil supaya adil,” sambungnya.
Ketua Dewan Pembina ADHI Adjat Sudrajat mengatakan tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) yang dilakukan oleh personil meliter, diatur dalam Hukum Pidana Meliter (UU No. 39/1947 tentang KUHPM staatsblad No. 167). Tindak pidana yang diatur dalam UU aquo meliputi kejahatan terhadap keamanan nasional, kejahatan terhadap warga sipil, kejahatan perang, kejahatan penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan seksual, pelanggaran tugas/disiplin meliter, pelanggaran hak azasi manusia, dan pelanggaran berat lain seperti ; penyalahgunaan senjata api, narkoba, disersi dan insubordinasi, perkelahian dengan rakyat, TNI, Polri, penipuan, perampokan, pencurian, perjudian, beckingan, ilegal logging/minning/fishing.
“Khusus penjelasan kejahatan penyalahgunaa kekuasaan adalah tindakan personil yang tidak manusiawi/semena-mena terhadap bawahan. Sementara mengenai penyalagunaan kekuasan yang merugikan keuangan negara dalam UU aquo tidak diatur. Aparat penegak hukum meliter yang disebut dlm UU No. 31/1997 tentang Peradilan Meliter, kewenangan melakukan penegakan hukum hanya terhadap tindak pidana meliter yang diatur dlm UU No. 39/1947 yang meliputi 7 perbuatan diatas,” ujar mantan Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) ini.
Lebih lanjut Adjat Sudrajat mengatakan sampai saat ini belum ada UU yang memberi kewenangan kepada penegak hukum di lingkungan Peradilan Meliter, untuk melakukan penegakan hukum dalam kasus/perkara tindak pidana korupsi (tipikor) seperti kewenangan yang diberikan oleh UU kepada penegak hukum Kepolisian, Kejaksaan dan KPK.
Ketua Dewan Pembina ADHI Adjat Sudrajat
“UU No. 30/2002 tentang KPK memberikan kewenangan kepada KPK sebagai lembaga trigger mekanism dengan kewenangan yang besar melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap siapapun termasuk kepada penyelenggara negara yang diduga melakukan tindak pidana tersebut, KPK tidak perlu minta maaf karena lembaga penegak hukum ini memiliki kewenangan melakukan penegakan hukum terhadap UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo UU No. 20/2001. Kalau kemudian ada pihak yang keberatan terhadap tindakan hukum yang dilakukan KPK, pihak yang keberatan seyogyanya melakukan gugat Praperadilan,” beber Adjat
Menurutnya salah satu tupoksi KPK adalah melakukan koordinasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan juga terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kabasarnas dkk “Koordinasi dilakukan dengan pihak meliter, KPK dapat memberikan semua data-data temuannya kepada penegak hukum meliter. Ini menjadi langkah yang baik supaya dugaan tersebut dapat segera ditangani dan diselesaikan. KPK, LSM dan Masyarakat dapat melakukan monitor, sementara tindak lanjut penanganan dan penyelesaian oleh institusi penegak hukum di lingkungan Peradilan Meliter,” tegas Adjat.
Presiden Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia Dr. Yetti Suciaty, SH.MBA kepada wartawan mengatakan KPK harus memimpin proses hukum terhadap siapa saja yang terlibat dugaan korupsi termasuk kasus di Basarnas.
Menurut Yetti, KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis atau UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum. “Dengan demikian KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf,” ujar Yetti di Jakarta, 01/8/2023.
“KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tidak boleh takut untuk memproses hukum perwira TNI yang terlibat korupsi. Jangan sampai UU peradilan militer menjadi penghalang untuk membongkar skandal pencurian uang negara tersebut secara terbuka dan tuntas,” tandas Woman Entepreneur ini.