Jakarta, ADHINEWS – Presiden Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Dr Yetti Suciaty SH.MBA mengatakan bahwa perkawinan beda agama merupakan salah satu polemik yang berlarut-larut tanpa ada penyelesaian yang jelas dan tuntas. Meskipun di Indonesia sudah memiliki undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menjadi payung hukum dalam perihal perkawinan, namun pada pelaksanaannya masih banyak kekurangan. Perkawinan beda agama belum diatur secara tegas dalam undang- undang tersebut.
Padahal dalam realitas sosial kemasyarakatan, Indonesia telah mengakui 6 (enam) agama yaitu: agama Islam, Kristen Khatolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu yang masing-masing memiliki ajaran yang berbeda, khususnya pandangan terhadap pernikahan beda agama. Untuk memecah kebuntuan terkait pernikahan beda agama, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran (SE) MA No 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-umat Berbeda Agama dan Kepercayaan.
Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia Prof. Dr. Drs. H. Amran Suadi, S.H., M.Hum., M.M dalam diskusi dengan anggota Asosiasi Doktor Ilmu Hukum akhir pekan lalu mengatakan SEMA memberikan petunjuk kepada Pengadilan untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat berbeda agama. ” Bukan MA melarang hakim izinkan pernikahan beda agama. Mau melakukan pernikahan beda agama silahkan saja itu hak asasi manusia, tetapi pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan tersebut,” ujar Amran Suadi.
Ketua Kamar Agama MA Prof. Dr. Drs. H. Amran Suadi, S.H., M.Hum., M.M
Terkait dengan anggapan negara telah menghilangkan hak privat dan tidak memberikan perlindungan hukum bagi yang menikah beda agama, Amran mengatakan hukum yang sudah jelas berarti tidak ada kekosongan dan tidak ada tafsir lagi. “Pengadilan tinggal melaksanakan untuk kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat bukan rasa keadilan perorangan,” lanjutnya.
Senada dengan Amran Suadi , Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Dr. H. Marsidin Nawawi, SH, MH yang juga vice presiden ADHI mengatakan SEMA bersifat internal yang berisi petunjuk bagi hakim agar tidak memutus perkara yg bersifat melanggar UU yang secara normatif melarang pernikahan beda agama.
Hakim Ad Hoc Tipikor Dr. H. Marsidin Nawawi, SH, MH
“Masa iya hakim malah mengabulkan, karena UU sudah jelas mengatur. Maka hakim tinggal melaksanakan dan tidak boleh membuat norma baru melalui putusan hakim,” ujar Nawawi. Sementara menurut Hakim Agung Agama Dr. Drs. HA. Mukti Arto, SH,M.Hum dalam kasus pernikahan beda agama Hak asasi manusia dibatasi dengan hak Tuhan yang menciptakan manusia.
Presiden ADHI Dr Yetti Suciaty SH.MBA berpandangan dalam hukum agama Islam, wanita muslim yang menikah dengan agama non muslim hukumnya qufur. “Apa karena cinta harus menikah dengan yang beda agama, tapi semuanya dikembalikan kepada yang bersangkutan karena hidup ini adalah pilihan,” ujar Yetti.