Jakarta, ADHInews – Penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang krusial bagi sebuah bangsa. Persoalan yang muncul memiliki dampak yang sangat masif bagi segala aspek kehidupan manusia. Pernyataan tersebut disampaikan Dr Yetti Suciaty, MBA selaku Presiden Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia (ADHI) yang anggotanya sudah tersebar di 29 propinsi di seluruh tanah air .
“Masalah kesehatan bukan satu-satunya menjadi perhatian bagi kita terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkotika, namun juga dampak sosial terhadap Penyalahgunaan narkotika merupakan salah satu aspek yang tidak bisa disepelekan,” ujar Yetti Suciaty kepada wartawan di Jakarta, Senin 24 Juni 2024.
Menutut Yetti, untuk menekan semakin maraknya penyalahgunaan narkotika, pemerintah telah menempuh berbagai cara hingga penjeraan melalui proses hukum. Salah satu cara yang digunakan pemerintah untuk menekan penyalahgunaan narkotika adalah dengan rehabilitasi sosial.
Namun demikian dalam penetatapan status rehabilitasi dalam kasus narkoba harus dilakukan secara hati hati dan melihat pesoalan secara komprehensif. “Rehabilitasi itu adalah suatu kebijakan hukum yang diberikan. Kita harus ingat bahwa kebijakan itu tidak lahir begitu saja harus dari suatu proses tata kelola pemerintahan yang baik untuk mencapai pemerintah yang baik. Kalau kita tidak berpedoman pada dua hal tersebut, rehabilitasi bisa menjadi liar dan itu hanya akan dimanfaatkan oleh para bandar dan pihak pihak yang mengambil ke untungan dari titel rehabilitasi itu,” ujar Prof Dr Syahlan,SH,MH Pakar Hukum dari DPD ADHI Sumatra Utara dalam diskusi hari Minggu, 23 Juli 2023.
Prof Dr Syahlan,SH,MH Pakar Hukum DPD ADHI Sumatra Utara
Lebih lanjut Syahlan mengatakan dalam proses penegakan hukum terutama kasus narkoba hanya melihat bukan kepentingan pelaku semata, tapi ada kepentingan masyarakat dan bangsa yang jauh lebih luas, dan ada juga kepentingan tersangka/terdakwa dan juga ada kepentingan korban. “Kadang kita lalai memperhatikan tiga kepentingan tersebut,” sambungnya.
Senada dengan Prof Dr Syahlan, Pakar Hukum Prof Dr Amran Suadi menekankan perlunya adanya pembedaan status pengguna sebagai korban dengan pengendar dan bandar. Amran setuju jika korban narkoba mendapat fasilitas rehabilitasi dan bukan hukuman penjara. “Sebab jika dipenjara maka keluar dari penjara biasanya dia naik profesi jadi pengedar. Jadi kejahatan narkoba menjadi lingkaran setan yang tidak pernah selesai-selesai atau berakhir,” ujar Amran. Menurutnya perlu ada komitmen dan konsistensi dalam penegakan hukum atas delik narkoba.
Pakar Hukum Dr. Firman Halawa, S.H, M.H dari DPD Kepri / Batam berpendapat rehabilitasi hanya diperuntukkan bagi pegguna narkotika sebagai korban atau pecandu. Sehingga idealnya, pada saat pelaku tertangkap pertama kali maka seharusnya segera dilakukan Assesment yang praktiknya melibatakan unsur penegak hukum dan medis. Menurutnya ini penting untuk memastikan apakah pelaku benar sebagai pecandu (korban penyalahguna narkotika).
Namun demikia Firman mengungkapkan besar biaya untuk assesmen sementara BNN/BNNProv/Kab kuota pendanaan untuk assesmen terbatas sementara ada ratusan kasus narkotika setiap tahunnya. “Karena pendanaan kuotanya terbatas, dimungkinkan biaya sendiri. Dalam kondisi yang demikian akan rawan terjadinya persekongkolan,” beber Firman.
Dr. Firman Halawa, S.H, M.H Pakar Hukum DPD Kepri / Batam
Menurut Firman, sebaiknya penentuan pelaku yang menjadi korban/pecandu direhabilitasi, diputuskan pada saat penyelidikan/penyidikan berdasarkan hasil assesmen dan perkaranya tidak lagi diteruskan ke penuntutan. Sebaliknya jika hasil assesment tidak dapat dilakukan rehabilitasi, maka perkaranya dilanjutkan hingga ke pengadilan. “Jadi, hemat saya, perkara yang sudah sampai pada tahap persidangan, sudah tidak tepat diputuskan untuk rehab karena dasar pijakannya (asesment) tidak merekomendasi untuk melakukan rehab,” lanjut Firman
Terkait dengan rekabilitasi kasus narkoba, Pakar Hukum Dr Prayitno dari DPD KalBar/ Pontianak menyoroti tentang sarana infrastruktur dan anggaran yang tidak mencukupi. Menurutnya perlu dilakukan invetarisasi jumlah panti rehabilitasi Narkoba yang memenuhi standar yang dimiliki negara bandingkan dengan jumlah pecandu Narkoba yang ada.
Ia juga menyoroti biaya eksekusi untuk rehabilitasi di Kejaksaan yang sangat minim sehingga Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkadang harus urunan uang pribadi untuk mengeksekusi terdakwa dimasukan ke panti rehabilitasi. “Akibatnya, sekalipun masuk pasal 127, jarang ada terdakwa yg diasesmen. Karena pasal 127 rancu dengan pasal 114 dan 112 sehingga sejak penyidikan sudah dipasang pasal-pasal tersebut sebagai alternatif pasal 127 dan dengan itu tidak perlu assesment,” ujar Dr Prayitno pejabat di kantor PN.
Lebih lanjut Dr Rusman dari DPD Jabar mengatakan peredaran narkoba di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Menurutnya, berdasar pengalaman empiris, bahwa peredaran Narkoba di Indonesia ini lebih 50 persen dikendalikan dari dalam lapas, sehingga untuk mengurangi kejahatan narkotika dimulai dari lapas.
“Di lapas sebaiknya di isolasi dengan cara tidak ada sinyal internet. Bilamana lapas-lapas narkotika tidak internet, warga binaan tidak bisa terhubung dengan dunia luar, baru akan ada dampak dekteren rasa jera. Namun faktanya , saat ini warga binaan sangat mudah terhubung dengan Dunia luar karena tersedia jaringan internet. Termasuk jaringan narkotika Internasional ada didalam lapas,” ujar Rusman.
Hal yang sama disampaikan Ahli Hukum Dr Buchori dari DPD Bengkulu, menurutnya untuk meminimalisir kejahatan dan peredaran narkoba di lapas, perlu dilakukan penjagaan yang super ketat. “Harus ada peningkatan sumber daya manusia dan moral bagi para petugas lapas,”Tandas Dr Buchori.
Dalam diskusi tersebut Dr Dadang Herli, ahli pidana dari DPD Banten mempertanyakan efektifitas penerapan program rehabilitasi kasus narkoba karena sejak eksistensi rehabilitasi diberlakukan, peredaran narkoba bukan menjadi berkurang, malah semakin merajalela. “Orang tidak takut lagi menyalahgunakan Narkoba. Toh ada rehabilitasi. lembaga rehabilitasi hanya menguntungkan pihak tertentu, menjadi ladang bisnis dan lebih megejar aspek fotmalitas daripada penyembuhan,” ujar Dr Dadang Herli.