Jakarta, ADHInews – Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia (DPN ADHI) mendorong Dewan Pewakilaan Rakyat (DPR) segera menuntaskan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) tentang Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana sebagai alat untuk menghukum pelaku koruptor dan tindak pidana pencucian uang.
“Kami mendukung langkah Ketua Komite Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Prof Mahfud MD untuk mendesak DPR segera mengesahkn RUU Tentang Perampasan asset yang intinya untuk memulihkan keuangan negara. UU Pemberantasan Tipikor Nomor : 31/99 jo UU No 20 tahun 2021 lahir bukan semata-mata untuk memenjarakan pelaku, namun juga untuk memulihkan kerugian keuangan negara via putusan inkracht melalui putusan uang pengganti,” ujar Ketua Dewan Pembina ADHI Adjat Sudrajat.
Namun demikian, lanjut Adjat, pada kenyataannya banyak terpidana yang lebih memilih menjalani subsider kurungan daripada harus membayar uang pengganti. Untuk itu, diperlukan UU Perampasan asset sehingga barang-barang yang diduga diperoleh dari korupsi atau barang lain diluar itu dengan ijin pengadilan disita/dirampas ditahap penyidikan untuk dilelang/dimanfaatkan dan dari hasil tindaklanjutnya dijadikan barang bukti untuk kepentingan pembuktian di persidangan sehingga jadi tidak perlu menunggu putusan inkracht.
Lebih lanjut Adjat mengatakan, jika RUU perampasan aset masih memerlukan waktu yang panjang, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk mengetasi kondisi tersebut. “RUU Perampasan Asset sudah dibahas sejak 2006, selanjutnya tidak jelas. Mengingat pentingnya UU apalagi dalam kondisi kegentingan semakin maraknya korupsi, pencucian uang hasil korupsi atau hasil dari tindak pidana lainnya yang disamarkan uangnya/barangnya, sudah cukup menjadi alasan pemerintah mengeluarkan Perpu,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Pakar Hukum yang juga Vice Presiden ADHI Dr Marsidin Nawawi yang mengatakan perlu ada pendekatan akademik dalam pakem ilmu administrasi negara yang mengkaji diterbitkannya Perpu tentang Perampasan Aset, terkait illicit enrichmet atau peningkatan kekayaan secara tidak sah. “Latar belakangnya adalah kegagalan pemberantasan korupsi dengan UU Tipikor, termasuk tidak berjalannya UU TPPU,” ujar Dr. Namawi.
Menurut Dr. Nawawi juga sebagai ketua Dewan PAKAR ADHI, penerbitan perpu sangat mendesak guna menyelamatkan keuangan negara yang dikorupsi/TPPU dalam jumlah yang sangat besar. Ia berharap ADHI dapat membantu perjuangan Ketua Komite Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Prof Mahfud MD untuk mendesak DPR segera menuntaskan pembahasan RUU Perampasan aset tersebut.
Pada kesempatan sebelumnya Menkopolhukam yang juga Ketua Komite Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Prof Mahfud MD mengatakan, korupsi di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat sulit diberantas. Untuk itu, pemerintah dan aparat penegak hukum membutuhkan alat lain untuk pemberantasannya.
Kiri ke Kanan – Prof Satya Arinanto (Ahli HTN), Dr Marsidin Nawawi (Pakar Hukum), Prof Mahfud, MD, Dr. Yetti Suciaty, MBA (Presiden ADHI), Dr Adjat Sudradjat (Ketua pembina), Dr Jawade Hafidz (Sekjend), Dr Achiel (Ahli Pidana)
Salah satunya dengan rancangan undang-undang (RUU) tentang Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana. Ia berharap RUU tersebut diprioritaskan Komisi III DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. Menurut Mahfud, RUU Perampasan Aset dapat menjadi alat untuk menghukum pelaku koruptor dan tindak pidana pencucian uang. Di samping itu, tujuannya agar adanya alat jera bagi pelaku dua tindak pidana tersebut.