Jakarta, ADHInews – Pernikahan beda agama menjadi fenomena gunung es di tengah masyarakat Indonesia. Fenomena ini seakan dibiarkan meski ada hukum positif yang mengaturnya. Namun, keberadaan hukum positif yang melarang pernikahan lintas agama ternyata tidak menyetop fenomena tersebut. Meski Undang-Undang tentang Perkawinan sudah menegaskan, pernikahan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, namun pernikahan antar pemeluk agama yang berbeda masih saja terjadi.
Untuk memperkaya literasi dan pemahaman tentang pernikahan beda agama, Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia (ADHI) DPD Jawa barat menggelar sebuah dialog NGOPI (Ngobrol Pinter) ADHI mengangkat tema Perkawinan beda Agama dalam tinjauan Yuridis, Filosofis, Religius, dan Sisiologis bekerjasama dengan Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Mahkamah Agung. Hadir beberapa narasumber diantaranya Presiden ADHI Dr. Yetti Suciaty, SH., MH, Mantan Hakim Agung Agama Dr.H.A. MUkti Arto, SH, M. Hum, dan Ketua ADHI Jawa Barat Dr. Hadi Susiarno, dr.,Sp.OG(K), MH.Kes. Acara yang dimoderatori oleh Dr. Drs Yadiman, SH,MH tersebut dilaksanakan di d’Ethnic Hotel Bandung, 28 Juni 2022 lalu. Turut hadir wakil dari Unisba Dr Rusli.
Suasana NGOPI (Ngobrol Pinter) ADHI mengangkat tema Perkawinan beda Agama
Presiden ADHI Dr Yetti Suciaty, SH, MBA mengatakan terlepas dari berbagai kontroversi tentang perkawinan beda agama, ADHI ingin memberikan pemahaman dari sisi keilmuan hukum. “ADHI yang anggotanya merupakan pakar-pakar hukum dari berbagai disiplin ilmu ini memberikan perspektifnya yang mendalam terkait perkawinan beda agama di Indonesia,” ujar woman entepreneur itu.
Lebih lanjut Yetti mengatakan Tema ini diangkat karena adanya putusan pengadilan dengan penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Surabaya yang mengabulkan Permohonan Para Pemohon untuk memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama di hadapan Pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Surabaya.
“Jadi meski ada hukum posifif yang melarang perkawinan beda agama dilakukan di Indonesia, namun pada kenyataannya telah diputuskan di pengadilan agama Surabaya bahwa diperbolehkan melakukan perkawinan beda agama. ADHI akan menganalisa fenomena ini,” lanjutnya.
Menurut Yetti, perkawinan beda agama dapat dimaknai sebagai perkawinan antara dua orang yang berbeda agama dan masingmasing tetap mempertahankan agama yang dianutnya. “Dari aspek hukum : Pasal 28 J UUD 1945 menyebutkan dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh UU. Menurut MK, perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia. keabsahan perkawinan harus disandarkan kepada syarat-syarat perkawinan yang dapat diterima oleh semua warga negara tanpa terkecuali. Pelekatan keabsahan perkawinan pada ajaran agama tertentu jelas menegaskan fakta keberagaman agama dan kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di Tanah Air ini,” beber Yetti.
Sementara dari aspek Hak Asasi Manusia (HAM), Lanjut Yetti, Perkawinan beda agama diakui di dalam Pasal 16 ayat (1) Deklarasi Universal yang menyatakan “Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Semua memiliki hak yang sama dalam soal perkawinan di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian”.
“Dengan kata lain, ketentuan ini menjamin hak setiap orang untuk menikah dan membentuk keluarga walaupun pasangan calon suami dan isteri berbeda agama,” lanjutnya. Sementara dari aspek Idiologi Pancasila. Mengingat kefleksibelan Undang-Undang Perkawinan yang merujuk norma dasar negara, Pancasila sila pertama bahwa Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Presiden ADHI ini mengakatan dari aspek politik, DPR berpandangan, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan merupakan bentuk pemaksaan agama tertentu oleh negara kepada warga negaranya, adalah dalil yang tidak berdasar. “Dilihat dari aspek ekonomi, Adanya perkawinan beda agama yang menyebabkan kawin beda agama berbeda dengan perkawinan pada umumnya. Perkawinan beda agama tidak hanya melihat dari nilai ekonomi dari adanya perkawinan tersebut,” sambungnya.
Sementara dari aspek pertahanan dan kamtibmas, Yetti mengatakan pertahanan negara dalam UUD NKRI 1945 pasal 30, mewajibkan setiap warga negara ikut serta dalam usaha pertahanan keamanan negara, yang dilaksanakan melalui sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (SISHANKAMRATA) TNI & POLRI sebagai komponen utama, dan Rakyat sebagai komponen Pendukung. “Faktor agama seperti perkawinan beda agama, sering pula dijadikan pemicu untuk mencabik-cabik republik ini, sekalipun barangkali hanya sekadar untuk menggalang solidaritas massa,” tandasnya.