Jakarta, ADHInews .com – Presiden Joko Widodo telah menandatangani omnibus law Undang-undang (UU) Cipta Kerja pada Senin (2/11/2020). Beleid tersebut tercatat sebagai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Penandatangan UU ini menuai banyak kontroversi di kalangan masyarakat baik praktisi, pengamat, sampai dengan akademisi. salah satunya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang langsung mendaftarkan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi karena isi undang-undang tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya dianggap merugikan kaum buruh. Bahkan buruh berencana kembali melakukan aksi demo besar-besaran terhadap penandatangan UU ini.
Atas banyaknya pro-kontra UU Cipta kerja ini, President Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia (ADHI) Dr Yetti Suciaty, SH MBA mengharapkan adanya solusi yang elegan terhadap UU Cipta Kerja ini. “ADHI mengharapkan, bagi yang tidak setuju dengan beberapa pasalnya, Judicial review adalah jalur yang tepat,” ujar Yetti kepada wartawan di Jakarta, Rabu 5/11/2020.
Menurutnya, Jika ada pasal yang merugikan dan tidak sesuai dengan UUD 45 sebagai sumber hukum pasti Mahkamah Konstitusi akan menganulir pasal tersebut. Namun demikian terhadap pasal-pasal yang memang bermanfaat untuk pengembangan investasi di Indonesia, diharapkan mendapat dukungan dari semua pihak.
Pemerintah mengklaim UU Cipta Kerja akan mendorong tumbuhnya investasi yang masuk ke Indonesia sehingga akan lebih banyak lapangan kerja yang tersedia, terutama di masa pandemi Covid-19. Selain itu, UU Cipta Kerja juga dinilai akan mendorong pemangkasan jumlah perizinan sehingga mendorong upaya pemberantasan korupsi dengan menyederhanakan dan mengintegrasikan sistem perizinan secara elektronik bebas pungutan liar atau pungli.
Terhadap adanya perbaikan undang-undang setelah disahkan oleh DPR satu bulan yang lalu, menurut Yetti, hal ini tidak seharusnya terjadi. “Jika sebelum ketok palu oleh DPR dilakukan sosialisasi secara masif tentunya kesalahan pengetikan dapat diminimalisir. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jelas mengatur bahwa perubahan UU setelah pengesahan pada rapat paripurna hanya boleh dilakukan sebatas memperbaiki kesalahan pengetikan,” ujar business legal consultant ini.
Menurutnya, dalam penyusunan undang-undang, perumusan naskah undang-undang seharusnya menjadi aspek terpenting di dalamnya. Melalui legal drafting, undang-undang dipastikan memiliki bahasa hukum yang tegas dan logis karena ia merupakan sesuatu yang sakral. Dengan demikian, sebuah undang-undang dipastikan tak memiliki kesalahan yang bisa berakibat fatal bagi warga negara yang menjadi obyek hukum.
“Kesakralan itu seolah hilang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Karena ketergesaannya, terdapat sejumlah kesalahan legal drafting di dalam UU Cipta Kerja. sebuah undang-undang sebagai hal yang sakral lantaran lewat undang-undang negara bisa menghukum warga negara hingga menghilangkn nyawanya, tanpa dituntut balik, tambah married consult dan entepreneur ini.
Ia berharap, ada solusi elegan terhadap UU Cipta Kerja ini dimana yang merasa keberatan mendapat keadilan di MK, pemerintah juga segera melakukan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan redaksional yang dilakukan dan diharapkan UU Cipta kerja secara keseluruhan memberikan manfaat nyata bagi bangsa dan negara.
Pada kesempatan sebelumnya, Vice President ADHI Prof. Satya Arinanto yang juga seorang Staf Khusus tiga periode Wakil Presiden Indonesia yaitu Boediono, Jusuf Kalla, dan kini KH. Ma’ruf Amin memastikan hak pekerja dan buruh tak ada yang dikurangi.
Sebagai orang yang terlibat sejak awal kelahiran UU Cipta Kerja, Guru Besar Universitas Indonesia Ahli Hukum Tata Negara ini mengatakan tidak ada eksploitasi terhadap waktu kerja, penghilangan cuti hamil, maupun pengambilalihan secara paksa terhadap hak tanah rakyat.
Menurutnya, Prof. Satya Arinanto, Omnibus Law sudah lahir di periode akhir kepemimpinan Presiden Jokowi – Wakil Presiden Jusuf Kalla. Saat itu, Prof. Satya Arinanto dimintai pendapat oleh Jusuf Kalla tentang Omnibus Law. Pembahasan teknis kemudian dilakukan bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil.
Barulah di periode kedua kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo memberlakukan Omnibus Law untuk memperlancar kelahiran UU Cipta Kerja. Tujuannya, tak lain untuk mempermudah perizinan usaha, termasuk untuk kalangan koperasi dan UMKM. Sehingga bisa membuka lebih banyak lapangan pekerjaan bagi rakyat.
Keberadaan sebuah undang-undang, termasuk UU Cipta Kerja, adalah untuk kemaslahatan rakyat. Bukan demi segelintir orang atau kelompok kepentingan,” tandas vice president Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia (ADHI) ini.