Jakarta, ADHINews.com – Rancangan Undang Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) resmi menjadi undang-undang setelah DPR mengesahkannya pada Rapat Paripurna, Senin 5 September 2020. Namun demikian gelombang penolakan terhadap UU Cipta Kerja ini masif terjadi di beberapa wilayah. Tidak hanya dari kaum buruh, penolakan pengesahan UU ini juga datang dari akademisi yang berasal dari bebagai perguruan tinggi di Tanah air.
Dalam pernyataan sikapnya, kalangan akademisi menilai pemaksakan pengesahan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law Cipta Kerja di luar batas nalar yang wajar karena UU ini tidak hanya berisikan pasal-pasal bermasalah dimana nilai-nilai konstitusi dan Pancasila dilanggar bersamaan tetapi juga cacat dalam prosedur pembentukannya.
Menurut Akademisi, setidaknya ada 5 catatan terkait penegsahan UU Cipta Kerja ini diantaranya akan terjadi sentralistik rasa Orde Baru karena terdapat hampir 400an pasal yang menarik kewenangan kepada Presiden melalui pembentukan peraturan presiden. Selain itu, UU ini juga dianggap anti lingkungan hidup karena terdapat pasal-pasal yang mengabaikan semangat perlindungan lingkungan hidup, terutama terhadap pelaksanaan pendekatan berbasis resiko serta semakin terbatasnya partisipasi masyarakat;
UU ini juga dinilai menyuburkan liberalisasi Pertanian karena tidak akan ada lagi perlindungan petani ataupun sumberdaya domestik, semakin terbukanya komoditi pertanian impor, serta hapusnya perlindungan lahan-lahan pertanian produktif.
UU Cipta kerja juga dianggap abai terhadap Hak Asasi Manusia karena pasal-pasal tertentu mengedepankan prinsip semata-mata keuntungan bagi pebisnis, sehingga abai terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, terutama perlindungan dan pemenuhan hak pekerja, hak pekerja perempuan, hak warga dan lain lain;
Dan yang lebih parah lagi UU Cipta kerja ini dianggap mengabaikan prosedur pembentukan UU karena metode ‘omnibus law’ tidak diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Bagaimana mungkin sebuah UU dapat dibentuk tidak sesuai prosedur. Terlebih lagi, semua proses pembentukan hukum ini dilakukan di masa pandemi, sehingga sangat membatasi upaya memberi aspirasi untuk mencegah pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Mananggpi disahkannya UU Cipta Kerja ini, Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia (ADHI) menyarankan agara penolakan terhadap UU yang telah disahkan DPR melalui jalur hukum yang telah disediakan yaitu melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi.
President ADHI Dr Yetti Suciaty, SH MBA kepada wartawan mengatakan pengesahan UU Cipta Kerja cenderung membuat kegaduhan karena UU ini telah mereduksi UU lainnya seperti UU lingkungan hidup, UU ketenaga kerjaan dan UU lainnya. “Pemerintah melalui Presiden Jokowi dan menteri terkait telah meminta penundaan pembahasannya, namun dalam praktiknya UU Cipta Kerja tetap disahkan menjadi UU. Harusnya DPR membuka kanal seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memberikan informasi dan masukan terhadap pembahasan Undang-undang ini,” ujar business legal consultant ini.
Menurutnya, pihak yang terdampak atas disahkannya UU ini adalah para tenaga kerja karena banyak hak-hak tenaga kerja terpangkas. “Ini menimbulkan ketidakadilan di masyarakat. Padahal, wakil rakyat dipilih untuk membawa amanah rakyat dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan bukan malah berpihak pada pengusaha atau pemodal asing,” tambah married consult ini.
Ia sangat menyayangkan aspirasi publik yang tidak didengar termasuk interupsi anggota DPR dalam rapat paripurna kemarin. Menurutnya ini merupakan bentuk tindakan yang menyalahi aturan dan anti demokrasi. Untuk itu, entepreneur perempuan ini menyarankan agar menempuh jalur hukum melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. “Mudah-mudahan hakim Mahkamah Konstitusi masih memiliki rasa keberpihakan kepada rakyat dengan menganulir atau meninjau ulang UU cipta kerja ini,” tambahnya. Yetti berharap, kedepan rakyat harus benar-benar cerdas memilih partai politik yang berpihak kepada rakyat.
Senada dengan Presiden ADHI, Ketua DPD ADHI Kalimantan Timur Dr Bella Indi Sulistio mengatakan penolakan terhadap UU Cipta Kerja melakui jalur hukum yang telah di tentukan “upaya konstitusional terhadap pandangan kontradiksi disahkannya UU Cipta Kerja sebaiknya dilakukan melalui MK, karena MK adalah lembaga yudikatif yang berwenang meninjau apakah suatu tindakan atau suatu undang-undang sejalan dengan konstitusi suatu negara,” ujarnya.
Ketua DPD ADHI Kalimantan Timur – Dr Bella Indi Sulistio
Sementara itu, Dr Bambang SutiyoSo dari DPD ADHI DIY menyoroti proses sidang paripurna di DPR dimana anggota DPR Tidak Diberi Salinan Fisik RUU Cipta Kerja saat Paripurna. “Rapat Apa Sementara Peserta Rapat Tak Diberi Salinan Fisik RUU Cipta Kerja, Zolim kepada Rakyat. UU Cipta Kerja Disahkan dengan Cara Tak Beradab,” Tambahnya. Untuk itu ia mendorong ADHI sebagai kumpulan para pakar hukum untuk mengkritisi UU yang terkait dengan hajat hidup rakyat.
Ketua DPD ADHI Jakarta Prof. Dr. Ahmad Sudiro, S.H., M.H., M.M, M.Kn melalui Wakil Ketua DPD ADHI Dr. Yoyon Mulyana Darusman dalam tanggapannya mengatakan pembahasan UU Cipta kerja dinilai cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup, tidak transparan, serta tidak memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat sipil. Terlebih lagi, pembahasan tersebut dilakukan di tengah konsentrasi seluruh elemen fokus menangani pandemi Covid-19.
Wakil Ketua DPD ADHI DKI Jakarta – Dr. Yoyon Mulyana Darusman
Selain itu, substansi pengaturan dalam UU Cipta Kerja memiliki banyak pasal-pasal yang bermasalah, salah satunya adalah terdapat pasal-pasal yang menghidupkan kembali aturan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). ” Mengikuti asas hukum bahwa kaidah hukum yang baru harus lebih baik dari kaidah hukum yang lama,” tandasnya.