Jakarta, ADHInews.com – Pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) mendapat reaksi beragam di tengah masyarakat. Walaupun saat ini pembahasan RUU HIP telah ditunda, penolakan terhadap RUU tersebut terus mengalir.
Sejumlah elemen masyarakat dan organisasi keagamaan menolak pembahasan RUUHIP yang menjadi insiatif DPR RI dengan alasannya, tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Ajaran Komunis/Marxisme dalam draf RUU tersebut sehingga dinilai akan menghidupkan kembali komunisme. Selain itu, dikhawatirkan RUU ini akan menghilangkan makna sila pertama Pancasila tentang ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Terkait kontroversi RUU HIP ini Presiden Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia (ADHI) Dr. Yetti Suciaty Soehardjo, SH MBA mengatakan seluruh sila dan makna yang terkandung dalam Pancasila tak perlu lagi diutak-atik. Karena pada pendiri bangsa sudah menyepakati Pancasila. “Jadi masyarakat Indonesia kini tinggal mengimplementasikannya secara baik dan benar,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta.
Menurutnya, pembahasan RUU HIP tidak perlu dilanjutkan lagi karena secara logika hukum. “RUU HIP mengatur persoalan Pancasila, padahal Pancasila adalah sumber hukum itu sendiri,” tambah wanita entepreneur ini.
Yetti meminta agar DPR dan pemerintah benar-benar mendengarkan suara dan aspirasi dari masyarkat baik para akademisi, pakar hukum, praktisi dan masyarakat secara luas melalui forum diskusi, kunjungan saat reses ke kostituen dan banyak jalur aspirasi lainnya.” Peraturan Hukum dibuat untuk menata kehidupan dalam suatu negara supaya masyarakat memperoleh kepastian, kemanfaatan dan keadilan didalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, jadi jangan malah membuat polemik di masyarakat,” tandasnya.
Ia menyambut baik penundaan pembahasan RUU HIP karena dapat mendinginkan suhu politik dan menghindarkan konflik ideologi di Indonesia. Tak hanya itu, adanya RUU HIP juga dinilai tak patut untuk dibahas terlebih Indonesia tengah berjuang menghadapi pandemi virus corona