Jakarta, ADHINews – Penyelenggaraan Negara mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam mencapai cita-cita perjuangan bangsa yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karenanya diperlukan pembatasan ruang lingkup kewenangan dalam bertindak sampai kepada pelaksanaanya.
Fakta saat ini bahwa pelaksanaan pemerintah daerah telah masuk ke ranah hubungan privat, yakni jual beli antara pihak penjual dan pembeli yang merupakan ranah perdata. Salah satunya adalah ikut tentukan harga transaksi Jual Beli terkait dalam Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan atau BPHTB.
Pemungutan pajak daerah NPHTB adalah kewenangan Kepala Pemerintahan yang dimandatkan kepada Dinas Pendapatan Daerah (disependa). Namun dalam pelaksanaannya dispenda ikut serta dalam melakukan tindakan menentukan harga transaksi jual beli antara Pihak Penjual dan Pihak Pembeli, contohnya di daerah Dinas Pendapatan Daerah Kota Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo dan daerah-daerah lainnya.
Ditemui saat silaturahmi pimpinan Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia (ADHI) di salah satu Hotel di Surabaya belum lama ini, Dwi Mariyati, seorang Notaris yang sekretaris ADHI Jawa Timur menyatakan keberatannya atas keikutsertaan dispenda dalam penentuan BPHTB.
“Tindakan pemerintah daerah yang ikut serta dalam menentukan harga transaksi jual beli antara pihak penjual dan pembeli, dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan sumber pandapatan, dengan usaha-usaha menaikan pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, adalah suatu pelanggaran norma,” ujar Dwi Mariyati.
(Bersama Sekjen ADHI Dr. Jawade Hafidz, S.H., M.H dan Koordinator Divisi Kepailitan Dr. Ivida)
Menurutnya, pelaksanaan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara di daerah sudah menyimpang dari prinsip penyelenggaraan pemerintah yang baik yakni pelaksanaan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.
Dispenda dinilai menghalangi pihak yang melakukan tindakan penjualan tanah dan bangunan untuk menanyakan harga pasar jual beli. Dia mencontohkan di Kota Pasuruan, Pihak Penjual dan Pembeli tidak bisa melakukan transaksi jual beli sebelum terlebih dahulu mengajukan permohonan harga pasar terlebih dahulu ke Dispenda Kota Pasuruan, melalui Pejabat Pembuat Akta setempat.
“Tindakan ikut serta dalam menentukan harga transaksi jual beli serta menghalang-halingi pihak penjual dan pihak pembeli dalam membutuhkan informasi adalah tindakan maladministrasi. Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman yang dimaksud dengan maladministrasi adalah : perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan,” tambah Dwi Mariyati.
Terkait masalah tersebut, Dwi Mariyati meminta Secara tegas pemisahan bertindak Pemerintah Daerah dalam hubungan administrasi dan privat, Melakukan sinkronisasi Perundang-undangan dan Peraturan Daerah serta melakukan Pengawasan Peraturan Pemerintah Daerah secara ketat. “Pelayanan publik harus mendapat perhatian yang utama dari Pemerintah, karena pelayanan publik merupakan hak-hak sosial dasar dari masyarakat,” tandasnya.
Di tempat yang sama Presiden ADHI Dr Yetti Suciaty, SH MBA sependapat dengan Dwi Mariyati. Menurutnya, dispenda seharunya tidak perlu secara detail mengurusi transaksi antara penjual dan pembeli karena sudah ada pejabat yang mengurusi yaitu notaris. “Jabatan notaris adalah jabatan profesional yang dia diangkat dan disumpah melalui undang-undang. Mudah-mudahan kasus seperti ini tidak terjadi di daerah lain,” Tutup wanita yang pernah menjabat sebagai pengurus Hipmi Jawa Barat ini.