Jakarta, ADHInews – Upaya rehabilitasi terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba sudah jadi tekad pemerintah, tapi praktik hukumnya berkebalikan. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat, dalam Meninjau Rehabilitasi Pengguna Narkotika dalam Praktik Peradilan, pandangan pengguna narkotika sebagai pelaku kejahatan masih lebih dominan dibandingkan pendekatan kesehatan dan penyembuhan terhadap ketergantungan narkotika. Sejumlah pasal dalam UU Narkotika yang sering dikenakan oleh penuntut umum, baik dalam dakwaan maupun tuntutan, baik dari pasal 111, pasal 112, pasal 114, maupun pasal 127 UU Narkotika.
Padahal di satu sisi, semangat untuk tidak melulu memenjarakan pelaku penyalahgunaan narkoba melainkan melakukan rehabilitasi telah muncul dalam sistem hukum Indonesia. Hal itu tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 dan SEMA Nomor 04 Tahun 2010.
Menanggapi hal tersebut mantan kepala BNN dan Kabareskrim Polri Komjen Pol (Purn) Anang Iskandar mengatakan permasalahan banyak terjadi karena penyidik penuntut umum tidak melampirkan assesmen dalam tuntutannya. ” Penegak hukum tidak boleh bertindak diluar hukum. Jangan karena tidak ada anggaran aturan diabaikan,” ujarnya dalam dikusi di WAG Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia (ADHI). Menurutnya, rehabilitasi dilaksanakan di rumah sakit tidak membutuhkan pengamanan khusus.
(Presiden ADHI Yetti Suciaty Soeharjo bersama Dr. Anang Iskandar)
Menurutnya, rehabilitasi merupakan program unggulan pemerintah. Pada tahun tahun awal berlakunya UU narkotika sudah disiapkan anggaran baik BNN, Kemenkes dan Kemensos tapi tidak bisa terserap, akhirnya dikembalikan ke negara, tahun berikutnya dikurangi sampai sekarang. “Kenapa tidak terserap? karena penyalahguna ditangkap ditahan dan dihukum penjara. Penyalahguna jadi takut melakukan wajib lapor untuk sembuh. Akhirnya IPWL (Instansi Penerima Wajib Lapor) tidak laku kalah dengan penjara,” tambah pria yang kini aktif sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini. Untuk itu, lanjutnya makanya penegak hukum harus sekata dan sesuai peraturan bersama tahun 2014.
Menanggapi hal tersebut anggota ADHI lainnya Prayitno Iman Santosa yang juga merupakan praktisi hukum mengatakan polemik ini muncul karena tersedianya anggaran jauh dari mencukupi. “Berapa anggaran Negara yang disiapkan untuk Pengemban Fungsi Rehabilitasi? dan secara luas berapa anggaran yang tersedia untuk penanganan pemberantasan tindak pidana narkotika?, ujar Prayitno.
Menurutnya, banyak faktor penyebab munculnya polemik ini. Cukupkah infra strukturnya yang disediakan untuk merehabilitasi para pecandu korban penyalahguna se Indonesia? Cukupkah anggaran di panti-panti rehabilitasi untuk membiayai perawatan para pecandu/penyalahguna narkoba? Dan Adakah tenaga medis yang cukup untuk menangani seluruh penyalahguna? Juga tenaga pengamanan tehadap terpidana yg direhabilitasi di panti rehabilitasi atau substitusinya? “Perjuangan perberantasan Narkoba tidak cukup hanya sebatas membuat regulasi/legislasi,” tegasnya.
Ia bercerita pernah menegur petugas pembimbing kemasyarakatan karena tidak hadir mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum, Namun si petuga menyampaikan bahwa Anggaran perjalanan dinas untuk itu sudah habis sehinga ia tidak datang ke persidangan.
“Suatu hari sidang tipikor, ketika periksa saksi di akhir pemeriksaan Saya tanya biaya untuk hadir di sidang termasuk pesawat, hotel penginapan dan makan mencapai Rp 6 jt an. Dari siapa ? Dijawab bahwa semua biaya itu ia sendiri yg memikulnya. Saya terkejut karena setahu saya untuk biaya tipikor dianggarkan ratusan juta rupiah, tapi kenapa Saksi menanggung biaya sendiri,” kenang Prayitno.
“Ketika berkesempatan bincang-bincang dengan Kajari, dikatakannya bahwa benar Anggaran untuk penanganan tipikor ada kalo gak salah Rp200 juta per berkas, akan tetapi seingat Saya dikatakan hanya tersedia untuk 5 berkas perkara per tahun, sedangkan waktu itu penanganan Tipikor sudah mencapai 58 perkara. Luar biasa,” tambahnya lagi.
Ia sangat berharap setiap kali ada pelimpahan perkara Narkoba ke Pengadilan wajib dilampiri Assesment, baik penyalahguna maupun penjahatnya, asal mereka terindikasi kecanduan narkoba agar Hakim dapat memutus perkara dengan rehabilitasi sesuai hasil assesment, karena tanpa assesment hakim tidak bisa mengira-ira atau menilai berapa lama terdakwa direhabilitasi.
(Dr Anang sedang berdikusi tentang narkoba didampingi Presiden ADHI, wasekjen Dr Achiel suyanto, Dr Marsidin Nawawi dan sekjend Dr. Jawade Hafiz)
Jadi, intinya Hakim siap untuk menjatuhkan pidana rehabilitasi bagi pecandu sebagai penyalahguna narkoba yang tidak termasuk sebagai penjahatnya (produsen, stokies, pengedar, bandar narkoba dst.), akan tetapi harus benar dan lengkap berkasnya dari penyidikan sampai ke penuntutannya.
“Yang berat adalah eksekutornya (JPU) karena ketika mengeksekusi ternyata tidak ada/tidak cukup anggaran atau tempat panti rehabilitasi sudah penuh atau karena anggaran di panti rehabilitasi sudah
habis,” tutupnya
Menurutnya Perlu perjuangan pemenuhan anggaran yang wajar dan cukup untuk penegakan hukum terutama terhadap extra ordinary crime sebagai wujud keseriusan Negara memerangi Korupsi dan Narkoba. “Menurut Saya jika kita hanya membolak-balik UU dan peraturan lain serta literatur/buku-buku petunjuk, tidak akan merubah keadaan. Karena substansi permasalahan ada pada masalah anggaran maupun infrastruktur yg tidak memadai,” tandasnya.
Ia berharap ADHI dapat bekerja sama dengan Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia untuk mengumpulkan hasil-hasil penelitian tentang biaya perkara terhadap penanganan Tipikor dan Narkoba se Indonesia dan tersedianya infra struktur rehabilitasi Narkoba. Menurutnya Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar ADHI untuk mendorong Pemerintah menyediakan anggaran yang wajar dan cukup bagi penegakan hukum terhadap Tipikor dan Narkoba.
(Pimpinan ADHI bersama Menkopolhukam Mahfud MD)
Menanggapi hal tersebut Presiden ADHI Yetti Suciaty Soeharjo menyambut baik usulan tersebut. Menurtnya, anggota ADHI berasal dari berbagai macam profesi. Jika bisa duduk bersama dapat mencari solusi dari polemik ini. “Harus duduk bersama antara pengambil keputusan dan pelaksana di lapangan baik Hakim, Jaksa, Polisi, BNN, Penanggungjawan panti rehabilitasi, dokter BNN dan yang terkait,” ujarnya. Menurut Yetti, dalam waktu dekat, ADHI akan segera memggelar seminar tentang narkoba di surabaya yang akan menghadirkan pembicara diantaranya Menkopolhukam Mahfud MD.