Samarinda, ADHInews– Proses pemindahan ibu kota Indonesia ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanagera sampai saat ini terus dipersiapkan oleh pemerintah. Tahapan yang akan dilakukan pemerintah antaraa lain menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) ibu kota baru, menentukan lokasi-lokasi, pembangunan infrastruktur, menyiapkan lahan, memulai konstruksi, dan lain-lain.
Rencana pemindahan Ibukota negara tak semata berimplikasi pada keuangan tetapi juga hukum. Pemindahan akan menimbulkan beban biaya yang tidak sedikit, tetapi juga berdampak pada hukum ketatanegaraan. Atas dasar inilah Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia (ADHI) akan mengupas bebagai implikasi hukum yang ditimbulkan dari rencana pemindahana ibukota ini.
Sebagai follow up dari RAKERNAS I di Yogyakarta yang diadakan tanggal 24 November 2019, maka Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia (ADHI) beserta ADHI DPD Kalimantan Timur yang bekerja sama dengan STIH Kaltim menggelar seminar dengan tema “ IMPLIKASI HUKUM PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA” pada tanggal 14 Januari 2020 bertempat di Tempat : R. Ruhui Rahayu Kantor Gubernur Jl. Gajah Mada No.2 Samarinda.
Ketua DPD Kaltim Dr Bela Indi Sulistio kepada redaksi mengatakan DPD Kaltim merasa memiliki kepentingan mengupas tema tersebut karena Kaltim nantinya akan menjadi ibukota negara. “Seminar ini nantinya akan mengundang para narasumber yang berkompetent membahas persoalan hukum terkait pemindahan ibukota ini. sehingga publik bisa memahami persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat pemindahan ibukota ini,” ujar Wakil Sekjen DPN ADHI ini.
Seminar ini akan menghadirkan Nara sumber pemateri diantaranya Gubernur Kaltim Dr. Ir. H. Isran Noor, M.Si, Ketua DPRD Proinsi Kaltimn – Drs. H. Makmur HAPK,M.M, Sekda Propinsi Kaltim – Ir. Muhammad Sa’bani, M.Sc , Rektor STIH – Dr. Husni Thamrin, S.H., M.H, Ketua ADHI DPD KalTim – Dr. Bela Indi Sulistio, S.H., M.H. mengangkat tema implikasi hukum Sosial & Ekonomi dan Dr. Jawade Hafidz, S.H., M.H. mengangkat topik Implikasi hukum sosial Budaya. Dan yang menjadi Keynot Speech adalah Dr Yetti Suciaty Soeharjo – Presiden Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia (ADHI). Acara seminar ini merupakan kerjasama antara STIH dan ADHI, Sebelum dilakukan seminar, akan dilakukan penandatangana MOU antara STIH Samaarinda dengan ADHI.
Rektor STIH – Dr. Husni Thamrin, S.H
Terkait dengan tema seminar, Dr Bela Indi mengatakan, secara yuridis ada beberapa pasal dalam UUD yang mengatur tentang ibukota negara, diantaranya pasal 2 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibukota negara. Pasal 23G ayat (1) yang menegaskan BPK berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Ketentuan senada ditemukan dalam beberapa Undang-Undang, yang mengharuskan lembaga tertentu berkedudukan di Ibukota negara. Dan yang ketiga Pasal 18B ayat 1 UUD 1945 disebutkan, Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Selain itu. Bagaimana implikasi terhadap Jakarta yang kini sebagai ibukota negara? Penamaan DKI pertama kali tertuang dalam Penetapan Presiden RI (Penpres) No. 2 Tahun 1961 tentang DKI Jakarta Raya yang kemudian menjadi UU PNPS No. 2 Tahun 1961. Dalam pertimbangannya, Presiden Soekarno menyatakan Jakarta Raya sebagai Ibukota Negara dijadikan kota indoktrinasi, kota teladan, dan kota cita-cita bagi seluruh bangsa Indonesia sehingga harus perlu memenuhi syarat-syarat minimum dari kota internasional esegera mungkin.
Pada tahun 1990, Presiden Soeharto mencabut kedua UU tersebut dengan mengundangkan UU No. 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan DKI Negara Republik Indonesia Jakarta. Dalam konsiderans disebutkan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia memiliki kedudukan dan peranan yang penting, baik dalam mendukung dan memperlancar penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik Indonesia maupun dalam membangun masyarakatnya yang sejahtera, dan mencerminkan citra budaya bangsa Indonesia.
Saat reformasi 1998, Presiden Habibie mengubah kembali payung hukum DKI Jakarta melalui UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. UU ini mempertegas kekhususan Jakarta karena statusnya sebagai Ibukota Negara. Demikian pula ketika era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lahir UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Banyak sekali pasal-pasal yang saling kait mengkait dalam UUD maupun dalam undang-undang yang membahas tentang ibukota negara. Untuk itu, perlu kajiaan yang komprehensif terhadap kajian hukum terkait pemindahan ibukota ini agar tidak menimbulkan persoalan hukum dikemudian hari. “Untuk itu, pemerintah perlu mendengarkan banyak masukan baik dari akademisi, praktisi dan ahli-ahli hukum terkait implikasi hukum terhadap pemindahan ibukota baru ini,” tandas Dr Bela.