( I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani – Pengurus DPD ADHI Jawa Tengah)
Surakarta, ADHINEWS – Indonesia memiliki wilayah hutan yang luas dan jumlah penduduk yang sangat banyak. Semakin lama kebutuhan atas tanah dan sumber daya alam semakin tinggi. Ketika kepentingan berbeda atas tanah, air, dan sumber daya alam lainnya bertemu, maka konflik tenurial berpotensi terjadi. Tenurial berasal dari lema tenure yang bermakna pengaturan yang terkait dengan kepemilikan, akses, penguasaan dan kontrol atas tanah, pohon, air, dan sumber daya alam lainnya. Dalam periode 2015-2016 saja tak kurang 159 pengaduan konflik tenurial.
Persoalan konflik antara warga masyarakat dengan pengusaha perkebunan, atau sesama warga yang berdiam di sekitar kawasan hutan masih belum sepenuhnya teratasi. Konflik tak hanya di atas kertas dan di ruang sidang pengadilan, tetapi juga konflik yang bermuara pada kekerasan fisik dan senjata. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bahkan mencatat konflik tenurial berimplikasi pada pengabaian hak-hak politik warga masyarakat adat yang tinggal di sekitar kawasan hutan.
Jenis konflik tenurial yang terjadi di Indonesia sangat beragam. Dapat berupa konflik antara masyarakat adat dengan KLHK atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR); antar warga transmigran dengan masyarakat lokal; antara petani dan makelar tanah; antara masyarakat lokal dengan pemegang izin kehutanan; atau antara pemegang izin kehutanan dan izin pertambangan. Lantas, apa penyebab terjadinya konflik tenurial?
Profesor I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani adalah salah satu ahlinya. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta yang juga merupakan salah satu pengurus DPD ADHI Jawa Tengah ini paham benar apa dan bagimana konflik tenurial bisa terjadi. Pidato pengukuhannya beberapa waktu silam yang mengangkat tema “Meneguhkan Eksistensi dan Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Penyelesaian Konflik Tenurial Kawasan Hutan di Indonesia Guna Menciptakan Kepastian Hukum dan Keadilan” masih sangat relevan hingga sekarang. Tema ini secara khusus merepresentasikan gagasan tentang peranan HAN dalam mengatasi konflik tenurial di Indonesia.
Dalam pidato pengukuhannya, Prof. Ayu menyinggung dua hal penting. Pertama, Undang-Undang Kehutanan menggunakan kerangka hutan politik dan teritorialisasi penguasaan negara terhadap hutan. Kedua, penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tidak koheren dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang berorientasi pada konservasi dan kesejahteraan rakyat.
Profesor Ayu menaruh perhatian besar pada penyelesaian konflik tenurial. Bisa dikatakan ini menjadi bagian dari kepeduliannya pada isu besar green government, baik pada tingkat lokal maupun nasional dan internasional (Salah satu tulisannya yang relevan adalah ‘Local Policy Construction in Implementing Green Governance Principle). Salah satu kritiknya terhadap peraturan perundang-undangan adalah keberpihakan lebih kepada investor ketimbang aspek konservasi dan kepentingan rakyat.
Dari 12 Undang-Undang yang mengatur sumber daya alam, hanya ada empat Undang-Undang yang secara proporsional mengutamakan keberpihakan pada konservasi dan pro-rakyat, yakni UUPA, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2009, dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Menurut ibu dua anak ini, perbedaan cara pandang pemangku kepentingan terutama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat hukum adat mengenai fungsi hutan termasuk sumber konflik yang sulit diatasi. “Perbedaan makna hutan berkaitan dengan tata nilai yang mendasari aspirasi, artinya pilihan untuk memperoleh atau tidak memperoleh hak atas hutan,” paparnya dalam pidato pengukuhan.
Untuk mengatasi perbedaan cara pandang para pemangku kepentingan memang tak mudah. Memperkuat interaksi antar pemangku kepentingan dapat menjadi jalan keluarnya. Semakin berkualitas interaksi, ada kemungkinkan memunculkan kesadaran di masing-masing pihak mengatasi konflik di antara mereka. Mengutip ilmuan Norwegia, Johan Galtung, Prof. Ayu menyebutkan bahwa kualitas interaksi personal dapat dibangun melalui dialog yang didasarkan pada prinsip keberterimaan tanpa syarat.
Prof. Ayu percaya HAN dapat digunakan untuk mengatasi konflik tenurial, baik dalam konteks pengawasan (pencegahan) maupun penegakan hukum (penindakan). Dalam pencegahan, pemerintah perlu menggunakan instrumen perizinan sebagai upaya mencegah kerusakan lingkungan sumber daya alam dan konflik tenurial. Toh, pemerintah dapat mengendalikan pemanfaatan ruang lewat perizinan. Di sinilah hukum administrasi berperan dan dapat dipergunakan untuk mengatasi konflik tenurial sejak awal.
Misalnya, bagaimana seharusnya kawasan hutan ditetapkan. “Pengaturan penetapan kawasan hutan harus responsif yang mempunyai kapasitas untuk beradaptasi yang bertanggung jawab, adaptasi yang selektif dan tidak serampangan. Pengaturan penetapan kawasan hutan harus menekankan pada keadilan substantif dan akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka advokasi hukum dan sosial. Partisipasi publik dapat meningkat jika pemerintah juga menyediakan informasi yang memadai kepada masyarakat, sebagaimana tergambar juga dalam tulisan Prof. Ayu dan kawan-kawan yang dimuat di salah satu jurnal pada 2015 lalu: “Guarantee Access to Information of Climate Change on Water Resources Based on National Plan Climate Change Adaptation in Indonesia”.
Dalam hal terjadi pelanggaran perizinan, hukum administrasi negara harus ditegakkan, baik melalui pengawasan maupun penerapan sanksi. Pengawasan adalah langkah preventif memaksakan kepatuhan; sedangkan penerapan sanksi adalah langkah represif untuk memaksakan kepatuhan. Sanksi dalam ranah hukum administrasi sangat beragam, dan secara teknis tersebar dalam banyak peraturan perundang-undangan. Setidaknya dapat berupa paksaan pemerintah, penarikan kembali keputusan yang menguntungkan, uang paksa, atau denda administratif.
Dalam pidato pengukuhan, Prof. Ayu menuliskan bahwa HAN bertugas melakukan pengawasan penataan terhadap persyaratan izin dan kewajiban peraturan perundang-undangan, Kementerian LHK memiliki kewajiban melakukan pengawasan lapis kedua (oversight) dan penegakan hukum lapis kedua (second line enforcement). Yang pertama dilakukan jika ada pelanggaran serius yang dilakukan dalam kegiatan usaha; sedangkan yang kedua dilakukan jika ada kesengajaan pemerintah daerah tidak menerapkan sanksi administrasi terhadap pelanggaran yang bersifat serius.
Apapun jenis sanksi yang dijatuhkan atas pelanggaran tertentu, katakanlah pencemaran sungai, tujuannya adalah melindungi lingkungan hidup dari perusakan, menanggulangi perusakan lingkungan, memulihkan kualitas lingkungan, dan memberikan efek jera kepada pelaku. Pemerintah tak akan dapat menjalankan tugas itu jika pemangku kepentingan lain tak dilibatkan, khususnya masyarakat. Masyarakat dapat memanfaatkan mekanisme pengaduan, mengajukan upaya hukum administrasi, bahkan dalam isu lingkungan diakomodasi hak gugat organisasi lingkungan hidup. Kuncinya adalah membangun keterpaduan penyelesaian konflik tenurial. Di mata prof. Ayu, masyarakat bisa menjadi ujung tombak untuk menjalankan peraturan perundang-undangan bidang sumber daya alam.
Itu sebabnya, pelibatan masyarakat adalah bagian dari rekomendasi yang disampaikan Prof. Ayu dalam menyelesaian konflik tenurial. Tentu saja para pemangku kepentingan langsung lainnya juga penting; demikian pula kalangan perguruan tinggi. Kemauan politik pemerintah menjadi kunci, sekaligus mendorong koordinasi pimpinan tinggi di setiap strata. Apalagi jika ada lembaga yang secara khusus menangani konflik itu mulai dari daerah hingga ke pusat. Di situlah, HAN akan banyak berperan dan dapat dipergunakan para pemangku kepentingan mengatasi konflik tenurial yang terjadi.
Profesor Ayu –begitu ia lazim disapa—sudah lama menggeluti bidang hukum administrasi negara (HAN). Sejumlah penelitian dan karya tulisnya, baik ditulis sendiri maupun bersama orang lain, banyak bersinggungan dengan HAN. Pidato pengukuhannya pada 26 November 2016 secara khusus merepresentasikan gagasan tentang peranan HAN dalam mengatasi konflik tenurial di Indonesia.
Lahir dan menghabiskan masa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Jakarta, Ayu kemudian meneruskan sekolah menengah atas di Solo. Setelah lulus dari Fakultas Hukum UNS pada 1995, Ayu meneruskan kuliah magister manajemen di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Di kampus ini juga, ia menyelesaikan studi doktor ilmu hukum pada 2004. Di sela-sela studi itu, Ayu pernah melakukan comparative study mengenai hukum lingkungan di National University Singapore. Di sela-sela kesibukan mengajar dan menduduki jabatan struktural , Ayu masih menjalani sejumlah penelitian bersama koleganya. Dan kini, ia dipercaya menakhodai Fakultas Hukum UNS. (berbagai sumber)