ADHINEWS,COM, Jakarta,- Pemindahan Ibukota tentunya salah satunya adalah untuk menciptakan kemerataan pembangunan diberbagai wilayah Indonesia. hal tersebut dikarenakan secara fakta yang tidak terbantahkan bahwa terdapat ketimpangan ekonomi antara daerah satu dan yang lain di Indonesia saat ini.
Demikian disampaikan Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H.,M.Hum, Rektor Universitas Sebelas Maret dalam Simposium dan Rakernas I Asosiasi Doktor Hukum Indonesia ( A D H I ) yang diselenggarakan di Hotel Rich, Yogyakarta, 26-29 Nopember 2019.
Prof Jamal Wiwono M.Hum membawakan materi dengan tema “Urgensi Pemindahan Ibukota Dalam Mencapai kesejahteraan Sosial dan Pemerataan Pembangunan di Indonesia.”
Prof Dr Jamal Wiwoho M.Hum adalah Guru Besar UNS yang ketua Dewan Pertimbangan ADHI sejak menjabat Irjend Menristek Dikti. Dalam Rakernas A D H I Prof Jamal Wiwoho M.Hum membawa makalah pemindahan ibu kita negara sesuai dengan keahlian dan kepakaran bidang keilmuan masing-masing.
Sebagai moderator dari nara sumber Prof Dr Rusli Muhammad, Guru Besar UII dan juga ketua ADHI DPD DIY yang biasanya menjadi narasumber dimana-mana.
“Ketimpangan ekonomi merupakan dampak dari tingginya disparitas pembangunan antarwilayah. Ketimpangan ekonomi dalam suatu negara bila tidak segera disikapi dengan kebijakan yang tepat akan berdampak kepada permasalahan multidimensi,” sebut Prof Jamal dalam paparannya.
Lebih jauh Prof Jamal yang juga menjabat Inspektur Jenderal Kemenristek Dikti menyatakan bahwa adanya wacana pemindahan ibu kota yang saat ini kembali digaungkan, pada dasarnya adalah menyangkut kepastian Indonesia di masa depan.
“Karena dalam aspek geopoilitik, ibu kota adalah representasi dari keadaan sebuah negara, representasi dari identitas bangsa,” papar Dewan Penasehat A D H I ini.
Menurut Prof Jamal, urgensi mengatasi ketimpangan semakin penting bila dikaitkan dengan kecenderungan bahwa sebuah wilayah yang sudah lebih maju akan mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi dibandingkan wilayah yang masih tertinggal.
Oleh karena itu, pemerintah, baik di negara yang menganut sistem perekonomian pasar maupun terpusat akan mengarahkan pembangunan untuk mengurangi disparitas antar wilayah (Nurzaman, 2012).
“Dengan semakin kecilnya disparitas antar wilayah, maka potensi percepatan pertumbuhan ekonomi secara nasional akan semakin tinggi,” ujar Guru Besar sejumlah PTN ini.
Berdasarkan data bahwa kondisi ketimpangan antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa terjadi pada banyak aspek. Dari aspek populasi, jumlah penduduk di Pulau Jawa mencapai 56,56% dari total penduduk Indonesia.
Di sisi lain jumlah penduduk yang menempati wilayah selain Pulau Jawa berada di bawah angka 10% (kecuali penduduk Sumatera sebesar 21,78%).
Besarnya populasi menyebabkan daya dukung Pulau Jawa semakin menurun, terutama dalam hal penyediaan lahan dan air bersih. Khusus untuk DKI Jakarta, kemacetan dan kurangnya akses transportasi public menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp56 triliun per tahun (Bappenas, 26 Juni 2019).
Dari aspek ekonomi, sebesar 58,49% kontribusi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) nasional disumbang oleh Pulau Jawa, di mana wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya menyumbang sebesar 20,85%.
Ironisnya, wilayah lain hanya mampu berkontribusi kurang dari separuh kontribusi PDRB dari Pulau Jawa. Kontribusi ini juga berbanding lurus dengan laju pertumbuhan ekonomi di mana Pulau Jawa mencatat angka 5,61% pada tahun 2017; lebih tinggi dibandingkan mayoritas wilayah lain di Indonesia (Bappenas, 26 Juni 2019).
Konsep pertumbuhan menekankan bahwa pusat perekonomian tidak akan muncul secara alami. Pusat pertumbuhan ekonomi baru tidak akan muncul tanpa dorongan inovasi dan teknologi oleh perusahaan/industry yang beraglomerasi di suatu wilayah.
Skema hinterland memungkinkan sebuah wilayah yang sudah stabil dapat memberikan dampak ekonomi kepada wilayah yang berlokasi di sekitarnya (Fleisher, et. al, 2010).
Teori inilah yang menjelaskan perkembangan ekonomi di wilayah penyangga DKI Jakarta dan Pulau Jawa secara umum semakin cepat dibandingkan wilayah lain.
Dengan demikian pemerintah harus mengintervensi percepatan pertumbuhan yang terlalu berpusat di DKI Jakarta dan Pulau Jawa dengan cara pemindahan Ibu Kota Negara dan membentuk wilayah pertumbuhan ekonomi baru.
Kemudian terdapat pertanyaan bagaimana dampak pemindahan ibukota negara terhadap perekonomian Indonesia?
Dalam hal ini lembaga Bappenas dalam kajiannya menyatakan bahwa pemindahan Ibukota negara akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional dengan prediksi kenaikan PDRB sebesar 0,1%.
Bappenas menyatakan bahwa kenaikan PDRB bersumber dari pemanfaatan sumberdaya daya potensial seperti pembukaan lahan untuk keperluan infrastruktur produktif dan pembukaan lapangan kerja bagi sumberdaya manusia terampil yang selama ini belum termanfaatkan.
Secara spesifik Bappenas memperhitungkan akan terjadi peningkatan upah tenaga kerja bagi wilayah sekitar yang dicerminkan dengan kenaikan price of labour sebesar 1,37% (Bappenas, 26 Juni 2019).
Selanjutnya, Bappenas merencanakan akan memberikan insentif bagi pelaku usaha untuk berinvestasi. Bambang Brodjonegoro memperkirakan secara nasional akan terjadi peningkatan arus perdagangan sebesar 50% sebagai dampak pertumbuhan kawasan industry di Ibukota negara yang terhubung dengan wilayah lain di Indonesia (antaranews.com, 19 Juli 2019).
Momentum penambahan porsi investasi dan perdagangan selayaknya dibarengi dengan kebijakan prioritas hilirisasi industri. Dengan demikian akan tercipta lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekaligus meningkatkan PDRB lokal.
Dengan bauran kebijakan tersebut, pemindahan IKN diprediksi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nasional dengan tingkat inflasi yang terjaga. Secara agregat kesejahteraan masyarakat di lokasi IKN baru akan meningkat dan berpotensi untuk mengurangi ketimpangan ekonomi antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa.
Pada segi resiko pada pemindahan ibukota negara yakni kebutuhan total pembiayaan berdasar desain dari Ibukota negara, yaitu sebesar Rp466 Triliun dan Rp323 Triliun. Skenario kebutuhan pembiayaan sangat bergantung kepada fungsi pemerintahan dan jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan dipindahkan (Bappenas, 26 Juni 2019). Kebutuhan pembiayaan meliputi pembangunan fungsi utama, fungsi pendukung, fungsi penunjang, dan pengadaan lahan.
Proyek pembangunan ‘kota baru’ menuntut penyediaan infrastruktur yang masif. Karakteristik proyek infrastruktur adalah memiliki risiko jangka panjang terutama berasal dari kinerja proyek yang belum tentu sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan. Di sisi lain pihak swasta tentu mengharapkan realisasi keuntungan yang sesuai dengan kalkulasi di awal proyek.
Dengan prinsip pembagian risiko, pemerintah harus benar-benar memperhatikan perjanjian kerja sama dengan pihak badan usaha atau swasta sehingga kualitas Ibukota negara baru beserta infastruktur pendukung dapat sesuai dengan spesifikasi yang mendukung jalannya pemerintahan dan tidak lagi memberikan beban tambahan bagi APBN.
Sedangkan dari sisi makro, Ikatan Pengusaha Real Estate Indonesia (REI) memperkirakan kenaikan inflasi akan lebih besar daripada perhitungan Bappenas. REI memperkirakan kontribusi inflasi terbesar berasal dari kenaikan harga lahan, apalagi terdapat luasan lahan yang dikuasai hanya oleh beberapa pihak (kaltim.tribunnews.com, 21 Agustus 2019).
Keberadaan para spekulan juga dapat memperbesar kemungkinan meningkatnya harga lahan secara tidak terkendali. Untuk mengantisipasi hal ini pemerintah harus merencanakan lokasi dan tata ruang wilayah secara tepat disertai dengan pengadaan yang sedapat mungkin berasal dari lahan yang dikuasai negara atau BUMN.
Penggunaan lahan tersebut dapat dilakukan dengan skema pendayagunaan aset yang tidak membebani anggaran negara. Dengan demikian risiko tingginya inflasi yang berasal dari kenaikan harga lahan dapat diminimalisir.
Proses pemindahan Ibukota negarra juga terkait dengan konstitusi dan Ideologi Pancasila. sejalan dengan sistem perekonomian di Indonesia yakni sistem perekonomian Pancasila sebagaimana yang diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 33 yang pada intinya berbunyi menyatakan, ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (Pasal 33 Ayat 1); ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3); dan
”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (Pasal 33 Ayat 4)
Pada ketentuan Pasal 33 Ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” merupakan dasar pemikiran agar “sesuatu yang menguasai hajat hidup orang banyak” (public goods) tidak boleh didominasi oleh individu, melainkan oleh negara, dengan asumsi akan digunakan untuk kepentingan masyarakat secara merata.
Dasar pemikiran ini berupaya mencegah adanya unsur non-negara yang bisa menguasai public goods, karena dapat membawa bencana yakni potensi terjadinya distribusi yang tidak adil. Jadi, semuanya berjalan seimbang dalam tingkatan ruang-ruang keadilan yang merata.
Dasar pemikiran Pasal 33 Ayat (2) jelas merupakan jawaban terhadap model ekonomi kolonial yang mengambil hampir seluruh keuntungan public goods bagi kepentingan negara kolonial maupun kalangan usahawan kolonial.
Ketimpangan yang disebabkan model ekonomi kolonial ditolak, dengan merumuskan suatu model ekonomi di mana public goods harus dapat bisa didistribusikan kepada publik secara adil.
Menurut para ahli, ada tiga kriteria yang biasa yang dipakai untuk menentukan sejauh mana suatu proses pembagian dapat dinilai menghasilkan keadilan yang bersifat distributif, yaitu (Jimmly Asshhiddiqie. 2018): a) Equity; b) Equality c) Kebutuhan (need).
Pada unsur Equity artinya ganjaran bagi seseorang harus setara dengan sumbangannya kepada masyarakat. Equality artinya setiap orang mendapatkan pembagian yang sama, terlepas dari masukan atau kontribusi yang diberikannya.
Adapun Need atau kebutuhan merupakan kriteria dasar pembagian berdasarkan kebutuhan, sehingga orang yang lebih membutuhkan dinilai adil untuk mendapatkan bagian yang lebih banyak, sedangkan yang kebutuhannya sedikit dinilai adil untuk mendapatkan bagian yang sedikit.
Sehingga alokasi sumber daya yang adil atau keadilan distributif ini sangat krusial bagi stabilitas kehidupan bersama dalam masyarakat dan kesejahteraan bagi seluruh warga masyarakat yang bersangkutan.
Jikalau persoalan distributive justice tidak tertangani dengan baik dan hal-hal yang seharusnya terdistribusi secara adil dan merata itu ternyata pula bernilai sangat penting dalam kehidupan masyarakat, terjadilah konflik yang keras biasanya tidak terhindarkan (Jimmly Asshhiddiqie. 2018).
Paparan dari Prof Dr Jamal Wiwoho M.Hum ini banyak mendapat tanggapan dan apresiasi dari peserta. Diantaranya tanggapan juga datang dari DPD Sulawesi Utara Prof Reynold Mawuntu.
(tim)