ADHINEWS.ID,- Kepingan-kepingan kegelisahan dan keprihatinan atas rapuhnya Pancasila sebagai dasar negara dan menipisnya semangat kebangsaan terus menggumpal dan menggulir. Dampaknya telah bersemai virus berbahaya dan mematikan yang secara subur menginfeksi benak dan pikiran bangsa.
Demikian disampaikan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam pengarahannya pada SIMPOSIUM dan RAKERNAS I Asosiasi Doktor Hukum Indonesia (A D H I) I di Hotel Rich, Yogyakarta, Jumat (23/11/2019)
“Virus-virus tersebut adalah pesimisme, apatisme dan fatalisme yang berujung pada politik indentitas berwajah agama yang menafikan kebhinekaan bangsa Indonesia,” ujar Sri Sultan Hamengkubuwono X di hadapan ratusan peserta Simposium dan Rakernas.
Seakan setiap jalan adalah one way traffic. “Sehingga siapa pun pengendara yang berlawanan arah sah hukumnya untuk dilibas habis,” tutur Sultan.
Dalam pesannya Sri Sultan Hamengkubuwono meminta Rakernas ini benar-benar bisa menghasilkan Trimatra : Idealisme Substansi Hukum, Realitas Budaya Hukum dan Fleksibilitas Penegakan Sistem Hukum.
“Dengan harapan semoga tidak terjebak dalam perdebatan tentang isu-isu pinggiran yang tidak memberi manfaat nyata yang berkelanjutan pada pengkayaan hukum di Indonesia,” katanya.
Sri Sultan menekankan bahwa jika dicermati sumber dari segala sumber rapuhnya Pancasila sebagai dasar negara terletak pada substansi hukum yang paling mendasar yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen 4 kali.
“Melalui analisis yang mendalam oleh Profesor Kaelan tahun 2013, ditemukan adanya penyimpangan jiwa Pancasila sebagai akar masalah adalah Makro pada Amandemen UUD 1945.
“…..hasil amandemen ayat (2)…. tidak koheren dengan jiwa Pancasila dan Pembukaan UUD 45 …. Jikalau kedaulatan rakyat berhenti hanya pada Presiden dan DPR. Maka tujuan Negara tentang kesejahteraan sebagaimana terkandung dalam Pembukaan alinea ke-4 dan sila ke-5 mustahil akan terwujud. Bahkan sebaliknya sebenarnya kekayaan negara untuk kesejahteraan rakyat…. hanya untuk realisasi demokrasi.”
Bertolak dari kondisi itu, tantangan kita adalah mewujudkan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 setelah Undang-Undang Dasar 45 secara yuridis formal mengalami perombakan.
“Sehingga tak lagi mencerminkan jati diri bangsa, Kini muncul kesadaran untuk kembali pada jiwa dan semangat Pancasila dan UUD 45, bersamaan menguatnya gugatan terhadap paham neoliberalisme dan politik identitas,” katanya.
Karena itu, sebaiknya melakukan Kaji Ulang Amandemen UUD 1945 untuk menciptakan landasan hukum yang lebih murni dan konsisten guna mengatur kehidupan kenegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan yang amanah.
“Jika MPR RI melakukan Amandemen Konstitusi, sebaiknya agar dikembalikan ke UUD 45 dengan perbaikan melalui Adendum. Kalau Amandemen, dilakukan tanpa Adendum dan membuat yang baru, berpotensi yang bisa mengarah pada disintegrasi bangsa,” sebut tokoh Reformasi ini
Saat ini ada tiga kelompok dalam masyarakat yang menyikapi eksistensi UUD hasil amandemen tahun 1999-2002 yang disebut UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Pertama, kelompok masyarakat yang mengatakan UUD NRI 1945 kebablasan sehingga tidak lagi sesuai maksud para pendiri Negara dan karenanya harus dikembalikan pada Undang-Undang Dasar 1945 yang asli
Kedua, kelompok masyarakat yang mengatakan UUD hasil amandemen sudah cukup baik dan tidak perlu dilakukan perubahan kembali.
Ketiga, kelompok masyarakat yang menyimpulkan bahwa UUD NRI 1945 sudah cukup baik, tetapi masih diperlukan perubahan terbatas untuk mengikuti dinamika perubahan masyarakat.
Dari ketiga pendapat tersebut, akhirnya MPR RI bersepakat mengambil jalan tengah, melakukan Amandemen Terbatas dengan merubah pasal 2 dan 3 UUD NRI 45 tentang Lembaga MPR RI.
Salah satu tujuannya adalah memberikan kembali wewenang MPR RI untuk menyusun dan menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN).
Jalan Tengah melalui Amandemen Terbatas UUD N RI 45 dinilai sebagai pilihan moderat dan realistis.
Karena jika kembali ke UUD 45 yang asli, jalan konstitusionalnya tidak tersedia, kecuali melalui Dekrit Presiden.
Namun syarat-syarat diberlakukannya dekrit untuk situasi dan kondisi ketatanegaraan kita saat ini tidak terpenuhi.
Misalnya, jika negara dalam keadaan darurat dan Lembaga-Lembaga Negara tidak berfungsi. Selain dekrit jalan lainnya adalah melakukan Referendum
“Dalam hal ini saya sungguh sangat awam, bagaimana menyarankan tentang sikap yang perlu diambil oleh A D H I pada matra Idealisme Substansi Hukum dalam forum ini nanti,” pesan Sri Sultan. (tim)