Jakarta, ADHINEWS – Perpu secara konstitusional adalah produk hukum yang sah sebagaimana diatur dalam pasal 22 UUD 1945, dimana dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang. Kewenangan pembentukan Perpu oleh UUD.1945 hanya diberikan kepada Presiden termasuk kewenangan untuk menilai dan menetapkan hal keadaan darurat negara (state of emergency) adalah menjadi hak subjektif Presiden.
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia (ADHI) Dr. Adjat Sudradjat kepada redaksi di Jakarta mengatakan Hingga saat ini memang belum ada satupun peraturan perundang-undangan yang merumuskan secara eksplisit kriteria/parameter mengenai keadaan darurat negara yang dikualifikasi sebagai kegentingan yang memaksa, karena itu penetapannya menjadi hak subjektif Presiden, sebagai langkah cepat untuk mengatasi problem kenegaraan.
“Terkait dengan revisi UU KPK, sebelum maupun sesudah disahkan oleh DPR dan disetujui oleh Presiden menjadi UU KPK yang baru, mendapat penentangan luar biasa dari pihak yang menolak revisi UU KPK karena dinilainya akan melemahkan bahkan melumpuhkan KPK, penolakan mereka diwujudkan dalam demo mahasiswa dan pelajar SMK di banyak tempat di wilayah Indonesia, yang semuanya cenderung anarkis, dilihat dari kacamata politik keadaan ini menjadi problem kenegaraan sehingga menempatkan hal keadaan darurat negara/kegentingan yang memaksa,” ujar Mantan Ketua Jaksa Muda Intel ini.
Lebih lanjut Adjat mengatakan Penolakan terhadap UU KPK hasil revisi, akan berakibat pada kekosongan hukum, karena UU yang sudah disahkan oleh DPR dan disetujui oleh Presiden tidak bisa diberlakukan, sehingga KPK sebagai lembaga penegak hukum pemberantasan tindak pidana korupsi tidak memiliki dasar pijakan operasional, dilihat dari kacamata hukum berbahaya karena tindakan hukum dan administrasi hukumnya menjadi tidak sah.
Mencermati respon sebagian masyarakat yang menolak revisi UU KPK telah disampaikan banyak pihak, pada dasarnya mereka menyebut ada 9 persoalan revisi UU KPK yang beresiko melemahkan/melumpuhkan KPK. Terhadap persoalan-persoalan tersebut, Presiden Jokowi telah merespon dengan 4 poin yang tidak disetujui dan 3 poin yang disetujui atas rancangan revisi UU KPK untuk menjadi pembahasan DPR. Respon Presiden telah diperhatikan oleh DPR disusul dengan disahkannya UU KPK baru merevisi UU KPK yang ada.
Sikap sebagian masyarakat terhadap respon Presiden dan UU KPK yang baru disahkan DPR, yang diwujudkan dalam berbagai peristiwa kegaduhan dan menolak revisi UU KPK menjadi tolok ukur (parameter) hal keadaan darurat negara (kegentingan yang memaksa).
Paremeter dari asek politik bisa dilihat dari Kegaduhan dikalangan politisi, cendikiawan dan para pihak yang pro dan kontra revisi UU KPK berpotensi meretakkan semangat kesatuan bangsa, Demo mahasiswa diberbagai tempat di Indonesia dan demo pelajar dilakukan dengan anarkis merusak/menghancurkan aset milik rakyat dan negara. Selain itu, Demo mahasiswa dan pelajar berindikasi ditunggangi kelompok yang tidak suka Presiden Jokowi, tuntutan bukan lagi menolak revisi UU KPK (dan RUU lainnya), tapi mengarah pada penolakan p Jokowi untuk jadi presiden kedua kalinya, disertai penghinaan dan ujaran kebencian dan Demo mahasiswa/pelajar yang terjadi telah menimbul banyak korban (luka/mati) dikalangan pendemo maupun petugas kamtib.
Sementara dilihat dari aspek hukum dapat dilihat dari Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum tindakan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, supaya tetap memiliki dasar pijakan hukum yang kuat dalam melakukan tindakan hukumnya, diperlukan peraturan perundangan, Bila peraturan perundangan yang diperlukan belum ada, maka akan terjadi kekosongan hukum, dan Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prisedural biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan mendesak perlu kepastian untuk cepat diselesaikan. Atas dasar keadaan politik dan hukum sudah cukup menjadi alasan Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan untuk mengambil langkah-langkah yang sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.