Keterangan FOTO: Rapat Koordinasi Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia dengan agenda mendengarkan suara dan aspirasi para pengurus DPD di The Rich Hotel Yogyakarta untuk Rakernas nanti di Yogya. Tampak Ketua Panitia OC yang juga Vice President, Dr Achiel Suyanto, Ketua Dewan Pembina Mantan Jaksa Agung Muda Intelijen yang juga pengarah Dr Adjat Sudrajat, President ADHI Dr Yetti Suciaty dan Sekjen ADHI Dr.Jawade Hafidz.
ADHINEWS.COM, Jakarta,- President Asosiasi Doktor Ilmu Hukum Indonesia (ADHI) Dr Yetti Suciaty, SH MBA menegaskan, pengesahan Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) oleh DPR hari Selasa kemarin, bukan berarti KPK sudah kiamat.
“Masih ada upaya perlawanan hukum yang bisa dilakukan yakni mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap pasal-pasal yang memang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Yetti disela-sela menggelar Rapat Persiapan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ADHI di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan, Kamis (19/9/2019)
Dengan demikian, menurut Yetti, pasal-pasal dalam Revisi UU KPK yang selama ini dianggap publik melemahkan KPK, masih bisa dianulir.
Dengan catatan, penggugat Judicial Review Revisi UU KPK bisa membuktikannya di hadapan para Majelis Hakim MK dengan dalil dan argumentasi hukum yang kuat.
“Para akademisi, ahli hukum dan lembaga Swadaya pemerhati Konstitusi yang menolak revisi KPK, tentunya akan melihat revisi ini akan sangat melemahkan KPK dan bertentangan dengan UUD 1945, dalil ini bisa digunakan landasan untuk meminta judicial review ke MK, mereka tentunya juga punya landasan yang kuat untuk menggugat keputusan DPR,” tutur wanita yang berprofesi sebagai pengusaha ini.
Yetti juga mengakui bahwa di dalam revisi UU KPK yang disahkan DPR hari Selasa kemarin ada beberapa poin yang diyakini akan menjadikan KPK tak ubahnya lembaga penegak hukum di pemerintahan saat ini. KPK akan menjadi lembaga yang tidak independen lagi.
Apakah Revisi UU KPK bisa dibatalkan jika ditolak Presiden? Menurut Yetti bisa saja. Caranya, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK yang lama untuk membatalkan UU yang telah disahkan oleh DPR.
Hanya saja Yetti pesimis hal itu akan dilakukan Presiden. “Saya kira Bapak Presiden tidak ingin masalah ini menjadi gaduh dan mengganggu stabilitas politik,” kata Yetti.
Namun jika Presiden Joko Widodo tidak menerbitkan Perppu maka otomatis RUU KPK yang telah disahkan DPR otomatis menjadi UU meski tidak ditandatangani Presiden.
“Bisa saja Bapak Presiden menolak menandatangani. Namun penolakan tersebut tak ada artinya, karena sesuai aturan tentang perundangan, setelah 30 hari disahkan DPR, sebuah undang-undang otomatis resmi jadi undang-undang meski tanpa tanda tangan presiden,” katanya.
Menurut Yetti hal tersebut pernah terjadi. Bahkan di awal era pemerintahan Jokowi. Saat itu DPR telah mengesahkan Undang-Undang MD 3 dan Presiden Joko Widodo kala itu tidak mau menandatangani.
“Sementara kalau kita berharap Presiden akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, hal ini juga akan mengundang dilema, karena produk Perppu tetap saja memerlukan persetujuan dari DPR. Yang paling mungkin memang akhirnya kembali berharap pada masyarakat yang melek konstitusi dan aturan,” paparnya.
Maka, lanjut Yetti Suciaty, satu-satunya jalan perlawanan publik untuk menolak revisi UU KPK ini adalah dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Karena secara bulat seluruh Fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) sebagai usulan DPR.
Yetti mempertanyakan langkah DPR yang sangat cepat dan massif membahas kembali RUU KPK, padahal RUU tersebut sangat melemahkan kinerja KPK.
“Kenapa tiba-tiba muncul keinginan untuk merevisi UU KPK, dan kenapa dilakukan sangat tergesa-gesa hanya beberapa hari jelang mau pensiun, Dan saya melihat revisi UU KPK ini terlalu dipaksakan sehingga banyak dicurigai publik ada agenda tersembunyi,” papar Yetti.
Diketahui, RUU KPK terus menuai kontra dari publik, khususnya para pegiat anti korupsi dan pemantau parlemen, karena terdapat poin-poin dari pasal yang mengancam kinerja KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Poin tersebut adalah kewenangan penyadapan atas izin pengawas, pembentukan dewan pengawas KPK, penambahan SP3 atau penghentian kasus di KPK, serta terkait pengumuman LHKPN.
Rakernas ADHI
Pada kesempatan ini President ADHI Yetti Suciaty memaparkan bahwa pengurus ADHI Kamis (19/9/2019) petang hingga malam telah menggelar Rapat Persiapan Rakernas di Hotel Ambhara Jakarta Selatan.
Gelaran Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) ADHI tahun 2019 akan dilangsungkan pada Oktober nanti di Yogyakarta. Sejumlah persiapan sudah dilakukan. Untuk pemantapan kegiatan rakernas tersebut, tanggal 25 Agustus 2019 lalu, bertempat di Rich Yogya Hotel digelar Rapat Persiapan RAKERNAS.
Dalam rapat koordinasi tersebut dihasilkan beberapa point yang akan diagendakan dalam rakernas mendatang, diantaranya : Kegiatan RAKERNAS akan diawali dengan SEMINAR mengangkat tema “POLITIK HUKUM INDONESIA MAU DIBAWA KEMANA?
Tema besar ini akan ditinjau dalam berbagai perspektif, disiplin ilmu dan profesi para anggota ADHI diantaranya, a. Hukum Pidana (Korupsi), b. HTN (Pemindahan Ibu Kota Negara), c. PERDATA (Hak Kepedataan Anak Biologis diluar Nikah), d. HAN (BPJS Kesehatan, Lingkungan Hidup dan Digitalidasi produk hukum pertanahan)
Bersamaan dengan Rakernas 2019 juga akan dilakukan pelantikan beberapa DPD yang sudah terbentuk. Saat ini sudah ada 25 DPD Provinsi antara lain DPD Jabar, DPD Jateng, DPD Jatim, DPD Bali, DPD NTT, DPD Bandar Lampung, DPD Sumsel, DPD Sumbar, DPD Sumut, DPD Kalbar, DPD Kaltim, DPD Kalsel, DPD Sulut, DPD Sulteng, DPD Sulsel, DPD Maluku, DPD Papua Barat, DPD Papua Timur, DPD Yogyakarta, DPD Cirebon Raya, DPD DKI Metropolitan, DPD Bengkulu, DPD Banda Aceh, DPD Riau dan DPD Banten.
Rakernas juga akan melakukan evaluasi Program kerja Organisasi, Menyusun Program kerja Organisasi untuk yang akan datang dan melakukan Kerjasama dengan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Bertindak sebagai Ketua OC adalah Dr Achiel Suyanto. (tim)