Cirebon, ADHINEWS.COM,- Guru Besar Universitas Udayana yang juga Ketua Asosiasi Doktor Hukum Indonesia (ADHI) DPD Bali, Prof Putu Gelgel, SH MH yg juga Warek UnHi, berpandangan bahwa dalam melawan ancaman berkembangnya paham radikalisme kearifan budaya perlu direvitalisasi.
“Salah satu revitalisasi kearifan budaya adalah budaya perbedaan yang tidak dipertentangkan, kita boleh mengakui perbedaan tetapi bukan bertentangan,” ujar Prof Putu Gelgel saat menjadi pembicara Dialog Nasional bertema *Kearifan Budaya Dalam Menangkal Radikalisme dan Terorisme” * yang diselenggarakan Asosiasi Doktor Hukum Indonesia (ADHI) di Keraton Kasepuhan Cirebon, Jumat (2/6/2018).
Menurut Putu Gelgel, cara untuk menangkal masuknya paham radikalisme dengan memupuk toleransi antar anak bangsa. “Mengajarkan cinta tanah air dan menciptakan harmoni sesama anak bangsa, harmoni antar manusia sebagai tiang menangkal radikalisme,” kata tokoh akademisi dan budayawan pulau Dewata ini.
Dalam mengajarkan kearifan budaya, lanjut Putu Gelgel kita harus memberikan contoh bagaimana memupuk semangat toleransi. “Karena paham radikalisme akan mengancam hakekat kebangsaan, ini yang harus disadarkan pemahamannya dan kita harus menentang cara-cara kekerasan
Putu Gelgel mengajak semua warga bangsa untuk membangun persatuan dan kesatuan bangsa, memupuk toleransi antar warga bangsa. Ada pepatah dalam bahasa sansekerta Tat Twan Asi yang artinya “Aku adalah engkau, engkau adalah aku”. Filosofi ini harusnya mulai ditanamkan kembali kepada anak-anak generasi muda.
Putu lalu mencontohkan bagaimana kearifan budaya di Bali mengajarkan budi pekerti dan tata krama dalam kehidupan sosial. “Ada budaya yang mengajarkan Menyame Braya artinya Kita adalah Saudara. Kemudian budaya Paras Paros yang artinya saling pengertian dan sikap toleransi,” katanya.
Ada juga budaya Segalak Segilik yang artinya Kebersamaan dan Keselarasan.
Putu Gelgel menilai berkembangnya paham radikalisme akhir-akhir ini dipicu erosi nasionalisme dan patriotisme.
Selain itu sebagian masyarakat kita juga mengalami erosi terhadap pilar-pilar negara, Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika. Terkikisnya militansi dan jati diri bangsa.
“Kondisi inilah yang menyebabkan paham radikalisme dengan demikian massif merasuki sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga pemikiran mereka menjadi sempit,” katanya.
Bangsa Indonesia terus didera radikalisme dan terorisme karena semangat kebangsaan mulai mengendur dan meluntur.
“Penyebaran paham radikal dan terorisme sudah sangat mengkhawatirkan, termasuk di lingkungan kampus,” paparnya.
Mengutip pandangan dari Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius, radikalisme bukan hanya karena kemiskinan, kebodohan, kekecewaan atau ketidakadilan, tetapi sudah merambah di kalangan intelektual.
“Perilaku kita sebagai bangsa mulai berubah sedikit-sedikit tersinggung dan marah-marah lalu merusak, membakar dan menumpahkan darah berteriak dengan kata-kata sumpah serapah,” paparnya.
MengkIaim bahwa idiologinya adalah merupakan kebenaran yang mutlak, serta menuntut ketaatan tanpa reserve. Pengikutnya dilarang memperhatikan suara hati mereka, kewajibannya adalah taat tanpa reserve (ketaatan mutlak) Siapa yang tidak taat akan disingkirkan.