Jakarta, ADHINEWS.COM,- Ketua Dewan Pembina Asosiasi Doktor Hukum Indonesia (ADHI) Dr Adjat Sudrajat, SH MH menyarankan agar revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang No.16 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme pada peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002, harus memberikan cakupan yang lebih luas. Selain itu UU ini bersifat khusus namun dalam implementasinya belum sepenuhnya dilaksanakan secara khusus.
“Penanggulangan terorisme hanya mendahulukan tindakan represif daripada preventif, hal ini yang menyebabkan penyelesaian permasalahan terorisme di negara kita tidak pernah tuntas,” ujar Adjat Sudrajat di Jakarta, Rabu (21/3/2018)
Padahal roh UU ini harusnya mengedepankan pencegahan daripada penindakan.
Selain itu menurut Adjat, UU Nomor 15 Tahun 2003 dan UU Nomor 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2001 adalah Undang-Undang yang bersifat mengatur pidana khusus. Namun dalam implementasi belum sepenuhnya dilaksanakan secara khusus.
“Karena itu diperlukan kebijakan pembaharuan terhadap UU Terorisme yang ada agar implementasinya lebih komprehensif dan menyeluruh, melibatkan semua pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat,” papar mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejagung ini.
Kebijakan pembaharuan, lanjut Doktor jebolan Universitas Islam Bandung, juga diperlukan terhadap lingkup perbuatan tindak pidana yang tercantum dalam Bab III UU Nomor 15 Tahun 2003, yang hanya mengatur perbuatan teroris terhadap pesawat udara dengan segala fasilitasnya.
“Tetapi juga harus mengatur perbuatan terorisme terhadap kapal laut dengan segala fasilitasnya karena perbuatan terorisme dapat terjadi diatas kapal angkut manusia dan barang,” katanya.
Tindak pidana terorisme oleh beberapa ahli hukum, menurut Adjat, dikategorikan sebagai political criminal di mana aktivitas kejahatannya dilakukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat ideologis.
“Kejahatan tersebut dilakukan bukan atas dasar motivasi nafsu dan keinginan pribadi, tetapi atas keyakinan pelaku bahwa mereka sedang memperjuangkan atau mempercayai suatu moralitas yang dianggap lebih tinggi agar dapat menggantikan moralitas pada masyarakat dan rezim yang ada,” katanya.
Lebih lanjut Adjat mengatakan, dalam UU No 15 Tahun 2003 setidaknya terdapat empat hal yang belum tercakup pembahasan hukumnya. Pertama mengenai penetapan pidana terhadap perbuatan yang mendukung aksi terorisme. Kedua, mengenai perbuatan penyebaran kebencian dan permusuhan.
Dan yang ketiga, mengenai masuknya seseorang ke dalam organisasi terorisme, dan yang keempat mengenai rehabilitasi pelaku terkait.
“Semangat untuk menyempurnakan UU Nomor 15 Tahun 2003 lebih pada upaya mengubah wajah undang-undang yang terkesan represif menjadi suatu aturan campuran dengan berbasis awal pada aturan yang preventif, sebagai kekuatan berimbang dari produk regulasi bagi penanggulangan ancaman terorisme,” katanya. (tim)