Jakarta, ADHINEWS.COM,- President Asosiasi Doktor Hukum Indonesia (ADHI) Dr Yetti Suciaty Soehardjo, SH MBA mendukung langkah Direktorat Tindak Pindana Siber Bareskrim Polri bersikap tegas menangkap para pelaku dan membongkar jaringan The Family Muslim Cyber Army (MCA).
“Kejahatan penyebaran ujaran kebencian (hate speech), menyebar berita fitnah (hoax) dan upaya mereka mengadu domba secara terorganisir dan sistematis sangat membahayakan bagi kelangsungan bangsa ini, beruntung aksi mereka bisa diketahui dan ditindak,” kata Yetti Suciaty Soehardjo di Jakarta, Rabu (14/3/2018)
Menurut Yetti, polisi tidak harus menunggu adanya pengaduan jika penyebaran fitnah dan berita hoax itu sudah merugikan kepentingan publik. “Penyebaran hoax dan fitnah itu merusak martabat orang lain, kemudian hoax itu bernada memecah belah dan mengadu domba antar golongan berbau SARA, maka hoax itu sudah termasuk dalam delik umum bukan lagi delik aduan,” katanya.
Karena penyebaran ujaran kebencian dan berita hoax telah membuat resah masyarakat. Yetti mencontohkan maraknya penyebaran berita-berita bohong soal ancaman China dan PKI, pembunuhan kiai oleh orang gila dan menyalahkan polisi. Kemudian juga teror terhadap sejumlah pemuka agama.
“Dan ternyata terungkap siapa pelakunya, polisi berhasil menangkap mereka yang sudah menyebarkan berita hoax itu mereka yang diduga menyebarkan adalah The Family MCA itu dan sekarang ditangani polisi,” kata Yetti.
Lebih lanjut mantan pengurus HIPMI ini mengatakan, fakta yang tidak ada itu diberitakan semua untuk menggiring opini dan kebencian masyarakat seolah isu mereka benar-benar ada.
“Juga ada hoax yang sengaja disebar untuk menyerang kinerja kepolisian. Itu yang mereka sebarkan untuk mendiskreditkan aparat hukum,” kata Yetti.
Terbongkarnya jaringan The Family MCA dan sebelumnya kelompok Saracen yang diduga aktif menyebarkan berita bohong bernuansa SARA di media sosial berdasarkan pesanan, memang merupakan hal yang terorganisir, bukan semata aksi individu.
Keberhasilan polisi mengungkap jaringan ini menurut Yetti berdampak cukup besar terhadap masyarakat. “Khususnya bagi mereka yang selama ini belum percaya bahwa penyebaran hoax itu ada yang mengorganisir,” kata dia.
Polisi berhasil menangkap para pelaku yang diduga berada di balik sejumlah berita bohong dan provokatif bernuansa SARA di media sosial. Yetti mendesak agar polisi mengungkap juga siapa dalang dari aksi mereka dan siapa yang memesan mereka.
Dari hasil penyelidikan forensik digital, terungkap sindikat ini menggunakan grup media sosial mulai Facebook, twitter, IG untuk menggalang ribuan pengikut dengan menjual sentimen agama. Selanjutnya pelaku mengunggah konten provokatif bernuansa SARA dengan mengikuti perkembangan tren di media sosial.
Unggahan tersebut berupa kata-kata, narasi, maupun meme yang tampilannya mengarahkan opini pembaca untuk berpandangan negatif terhadap kelompok masyarakat lain.
ADHI mendukung penuh tindakan tegas aparat kepolisian terhadap hoax-hoax yang seperti ini. Karena kejahatan ini sifatnya sudah bukan lagi delik aduan. Karena hukumnya sudah tegas. Pasal 28 dan pasal 45 a Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menyatakan, orang penyebar dan pembuat hoax seperti ini ancaman hukumannya 6 tahun penjara dan atau denda Rp 1 miliar.
Yetti Soehardjo juga meminta sejumlah pihak untuk tidak memojokkan polisi dengan tuduhan tebang pilih dalam menangani kasus ujaran kebencian. “Polisi menurut saya sudah menjalankan tugas dengan sangat profesional. Polisi tentu tidak akan harus memproses laporan seseorang terkait hoax jika tidak merugikan orang itu atau publik. Jadi jangan sekali-kali menjudge polisi tebang pilih atau polisi tidak adil. Tidak ada sama sekali hal itu,” kata mantan pengurus KADIN ini.
Menurut Yetti dalam menangani kasus ujaran kebencian dan berita hoax, polisi terkadang menghadapi situasi yang sangat dilematis. “Tapi menurut saya polisi harus berjalan terus. Misalnya kalau bertindak tegas di bilang mengada-ada, tapi kalau polisi tidak bertindak dibilang memihak seseorang. Padahal itu tadi laporan-laporan itu kadang kala tidak lengkap dan ternyata banyak orang yang tidak Islam juga ditangkap, diproses dan dihukum penjara. Tapi tidak dibuat gaduh,” kata Yetti. (tim)