Jakarta, ADHINEWS.COM,- President Asosiasi Doktor Hukum Indonesia (ADHI) menilai masuknya narkoba ke Indonesia yang belakangan ini marak, terjadi karena lemahnya penegakan hukum. Aparat penegak hukum dinilai President ADHI, baru sekadar menangkap pengguna dan kurir pembawa barang haram tersebut. Namun hingga kini bandar atau otak yang membiayai peredaran narkoba belum terungkap.
“Jangan hanya menangkap pemakai atau kurir saja tapi bandarnya tidak tertangkap, sebab kalau bandarnya masih tidak terjangkau hukum, sulit untuk memberantas narkoba ini sampai ke akar-akarnya,” tutur Dr Yetti Suciaty Soehardjo, SH, MBA di Jakarta, Senin (5/3/2018)
Doktor Alumni Universitas Islam Bandung (Unisba) ini mengatakan, aparat penegak hukum harus mampu mengungkap jaringan yang selama ini mendatangkan narkoba hingga mencapai 1,6 ton. “Karena kalau yang ditangkap ABK kapal, maka dia tidak tahu menahu soal narkoba yang dibawanya, tapi harus ditelusuri siapa yang mendatangkan barang haram tersebut,” kata Praktisi Hukum ini.
Negara, menurut mantan pengurus KADIN ini, tidak boleh mengabaikan kasus ini. Negara harus hadir melihat kenyataan ancaman berbahaya bagi keselamatan bangsa ini dari ancaman narkoba. Di lain sisi kelemahan regulasi hukum dan penegakan hukum di Indonesia terhadap para pengedar atau produsen narkoba ini belum maksimal dan efektif. Harus ditingkatkan.
Pemerintah dan penegak hukum harus tegas agar warga negara Indonesia terlindungi dari jahatnya para pebisnis narkoba. Ia mengatakan narkoba merupakan wujud penjajahan gaya baru untuk Indonesia dengan merusak mental manusia Indonesia.
Menanggapi soal sanksi hukuman mati dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru terhadap bandar dan pengedar narkoba, Yetti mendukung draft tersebut. Sepanjang sanksi hukuman ini memang benar-benar diterapkan tanpa pandang bulu.
“Jangan sampai ada negosiasi dalam hukum terhadap kejahatan narkoba, karena dampak dari narkoba membunuh generasi muda,” kata Yetti.
Yetti mengkritisi sanksi hukuman mati dalam RKUHP yang memberikan celah kelonggaran bagi terpidana mati. Dalam RKUHP yang masih digodok DPR mengatur bahwa terpidana mati yang sudah menjalani hukuman 10 tahun dan berkelakuan baik, pidana mati dapat diubah menjadi hukuman 20 tahun.
“Ini menjadi celah bahaya. Indonesia akan jadi ladang bisnis segar bagi para pebisnis narkoba dengan ancaman hukuman seperti RKUHP ini. Pemerintah harus tegas, kalau tidak Indonesia akan hancur dan generasi mudanya akan lemah,” paparnya.
Ia juga menyebutkan semakin gencarnya serangan narkoba ke Indonesia terbukti dengan semakin canggihnya modus untuk memasukkan zat yang berbahaya yang menganggu keberlangsungan bangsa ke depan.
Yetti mengaku prihatin karena pengedalian peredaran narkoba justru datang dari para oknum napi di Lapas. Meski terancam hukuman mati, sejumlah oknum napi masih tetap berani mengendalikan narkotika. Hal ini, lanjut Yetti menggambarkan bahwa para bandar narkoba tersebut tidak pernah jera meski telah ditahan di lapas. “Ini membuktikan bahwa mereka tetap berkerja meski di dalam lapas,” katanya.
Yetti menyerukan bahwa Indonesia harus dinyatakan darurat narkoba dan seluruh elemen pemerintah harus mengambil langkah cepat, tegas terarah dan konkrit.
Sebelumnya, Polri bersama Bea Cukai mengungkap kapal Taiwan berbendera Singapura yang menyelundupkan 1,8 ton narkotika jenis sabu di perairan Batam, Kepulauan Riau.
Empat tersangka yang merupakan anak buah kapal (ABK) dan nakhoda ditangkap dalam kasus tersebut. Mereka adalah Tan Mai (69), Tan Yi (33), Tan Hui (43, nakhoda) dan Liu Yin Hua (63) yang merupakan WN Taiwan.
Kemudian, Anggota Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Mabes Polri memeriksa Kapal “Win Long” yang diduga mengangkut sabu di Dermaga Kantor Wilayah Bea Cukai Kepulauan Riau. (tim)