Penegakan hukum vs upaya kesehatan dalam menangani penyalahguna
Komjen Pol Dr Anang Iskandar S.Ik
Pembina Dewan Pembina Asosiasi Doktor Hukum Indonesia (ADHI)
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) 2012-2015
Tarik menarik praktek penegakan bermuara penjara dengan penegakan hukum bermuara di tempat rehabilitasi dalam penanganan narkotika mulai terasa lebih keras awal abat ini , praktek tarik menarik penanganan penyalah guna yang mestinya bermuara di tempat rehabilitasi ternyata tarikan lebih kuat sehingga bermuara di penjara.
Hal ini berdampak signifikan pada upaya pemulian kesehatan penyalah guna menjadi terkendala , baik secara mandiri maupun upaya pemulian kesehatan melalui wajib lapor sehingga upaya pemulihannya bagai “hidup segan mati tak mau” disisi ini bangsa kita dari menghasilkan generasi sakit tanpa penyembuhan
Dampak lain adalah terjadi berbagai masalah, baik dalam pembangunan infrastrutur rehabilitasi dan pengelolaan infrastruktur lapas.
Pembangunan infrastruktur lapas seperti deret hitung sedangkan pertambahan jumlah penyalah guna yg menghuni lapas seperti deret ukur sehingga menjadi lapas menjadi over load, penghuninya sebagian besar orang sakit adiksi dengan ganguan kejiwaan bersifat stimulan , halosinogen maupun depresan , kondisi ini membahayakan lapas itu sendiri maupun penghuninya .
Dampak lain adalah pudarnya “semangat” aparat pengemban fungsi rehabilitas yaitu Kemenkes , kemensos dan BNN dalam menangani rehabilitasi karena penyalah guna mandiri menjadi takut tertangkap penegak ketika berobat sehingga rehabilitasi mandiri tidak laku demikian juga rehabilitasi dari sumber wajib lapor untuk sembuh juga dihantui rasa takut ketangkap penegak hukum karena empirisnya diproses secara kriminal murni dan vonisnya dipenjara sehingga fungsi rehabilitasi menjadi tidak berkembang .
Dampak akhirnya kita bisa membayangkan sekarang ini negara dengan penduduk besar dengan jumlah penyalah gunanya sekitar 5,8 juta hanya punya satu rumah sakit yang bener benar ngurusi ketergantungan obat ( RS KO ) dibawah Kemenkes dan 7 lokasi rehabilitasi narkotika dibawah BNN dimana daya tampungnya tidak memadahi dibandingkan jumlah prevalensi penyalah gunanya.
Akhirnya kita sendiri yang rugi apabila praktek penegakan hukum penyalah guna dengan CJS dan diganjar hukuman penjara, meskipun penyalah guna telah menjalani hukumannya mereka tidak sembuh dari penyakit adiksi / ketergantungan obat apabila tidak direhabilitasi.
Sehingga selama dan setelah dipenjara mereka masih berstatus pecandu / penyalah guna dalam keadaan ketergantungan dan masih menjadi demandnya peredaran gelap narkotika .
Dilain pihak negara telah mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk penegakan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan baik dalam proses penyidikan, penuntutan dan proses peradilan serta biaya menghukum penjara sesuai lamanya putusan hakim.
Lalu apa manfaat dari menghukum penjara penyalah guna yang nota bene adalah pecandu?
Alih alih memberantas narkotika malah menambah enerji untuk berkembangnya bisnis narkotika di indonesia
Pertanyaannya kenapa kita harus menguras tenaga dan membuang biaya besar kalau hanya menghasilkan generasi tidak sehat selama dan setelah keluar dari penjara. Itu namanya “keliru”. (tim)