UU Kita Menganut Rehabilitation Justice System
Komjen Pol (Purn) Dr Anang Iskandar
Pembina Dewan Pembina Asosiasi Doktor Hukum Indonesia (ADHI)
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) 2012-2015
Setiap proses penegakan hukum dengan melakukan penahanan terhadap penyalah guna narkotika lalu berujung pada vonis penjeblosan dalam penjara justru menjadi sorotan masyarakat. Bukan itu saja, bahkan menjadi pertanyaan di akar rumput. Sebabnya ialah itu semua bertentangan dengan tujuan dibuatnya Undang-Undang Narkotika.
Bahkan ditengarai, itu justru bisa menjadi sumber energi dalam berkembangnya peredaran gelap narkotika di Indonesia. Ini terjadi karena adanya tarik-menarik antara upaya hukum dan upaya kesehatan, khususnya dalam penanganan penyalahguna narkotika. Terlebih lagi selalu saja berujung pada menangnya penegakan hukum dengan criminal justice system-nya sehingga bermuara dengan dijebloskannya penyalah guna ke penjara.
Fakta itu semua tentunya mengabaikan prinsip khusus penegakan hukum yang terintegrasi dengan upaya pemulihan kesehatan. Ini justru yang menjadi rohnya Undang-Undang Narkotika kita, bahkan yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia serta bangsa bangsa di dunia.
Secara yuridis, sebenarnya Indonesia telah menganut sistem pemidanaan rehabilitasi terhadap penyalah guna. Yaitu sejak pemerintah menyetujui Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya menjadi UU No 8/1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal tentang Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya.
Dimana Undang-Undang No 8/1976 itu mengintegrasikan pendekatan penegakan hukum dan upaya kesehatan. Bentuknya dengan sistem pemidanaan rehabilitasi dalam menangani penyalah guna narkotika. Selanjutnya Undang-Undang No 8/1976 ini menjadi sejenis ‘UUD’ kita dalam penanganan masalah narkotika di Indonesia di kemudian harinya.
Berdasarkan UU tersebut juga, akhirnya dibuatlah UU Narkotika Indonesia. Mulai UU Narkotika Tahun 1976, kemudian diubah dengan UU Narkotika Tahun 1997, dan terakhir menjadi UU No 35/2009 tentang Narkotika.
Perspektif ketiga undang undang narkotika tersebut sama persis dengan induknya dalam menangani penyalah guna narkotika yaitu mengintegrasikan pendekatan penegakan hukum dan upaya kesehatan.
Perspektif undang undang no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang berlaku sekarang ini juga mengintegrasikan pendekatan penegakan hukum dengan upaya pemulihan, menggunakan doble track system pemidanaan, dimana khusus terhadap pengedar dan kelompoknya menggunakan Criminal Justice System ( CJS ) bermuara pada pidana penjara.
Sedangkan terhadap penyalah guna dan kelompoknya menggunakan Rehabilitation Justice System ( RJS ) yaitu proses pertanggungan jawab secara kriminal, penghukumannya keluar dari penghukuman kriminal menjadi penghukuman non kriminal .
Prakteknya? apa lagi , tambah jauh api dari panggang, penyalah guna yang ditangkap oleh penegak hukum “ditahan” pada seluruh tingkat pemeriksaan, untuk dapat ditahan di “yunto” kan dengan pasal pengedar padahal tujuan undang undang adalah melindungi, menyelamatkan serta menjamin rehabiitasi medis dan rehabilitasi sosial , pada point ini perlu dicermati agar penegakan hukum sesuai undang undang yang berlaku .
Dan ketika sampai meja hijau hakim memberikan vonis hukuman penjara. Ini berlanjut terus sampai sekarang meskipun ada beberapa nama beken yang sudah mendapatkan hukuman rehabilitasi antara lain Rhido Rhoma, Ello dan Restu Sinaga oleh beberapa pengadilan negeri di Jakarta
Indikasi untuk penyalah guna itu kasat mata, mereka memiliki narkotika dalam jumlah tertentu ( jumlahnya sedikit ) untuk keperluan sehari, mereka membeli untuk dikonsumsi bukan untuk dijual , tujuan mereka tidak mencari keuntungan.
Secara victimologi mereka korban kejahatan narkotika sehingga awam mudah membedakan mana pengedar mana penyalah gunanya, mana yang harus dihukum berat mana yang dihukum rehabilitasi. (bersambung)