Jakarta, ADHINEWS.COM,- Asosiasi Doktor Hukum Indonesia (ADHI) mengapresiasi dan memuji langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tidak akan membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dan tidak ingin menandatangani Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3). Sikap ADHI sendiri tidak sependapat dengan UU yang membuat kontroversi di publik tersebut.
Presiden Asosiasi Doktor Hukum Indonesia (ADHI) Dr Yetti Suciaty Soehardjo, SH, MBA mengkritik UU MD3 karena bertentangan dengan pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
“Namun yang ada UU MD3 ini tidak mencerminkan negara hukum yaitu equality before the law. Apa hebatnya anggota dewan sehingga kalau polisi mau memeriksa harus seijin Dewan Kehormatan DPR, hak imunitas ini terlalu berlebihan seolah DPR kebal hukum dan tidak bisa dipidana kalau melanggar hukum,” ujar Yetti Suciaty Soehardjo di Jakarta, Kamis (22/2/2018)
Menurut Yetti, seharusnya hak imunitas dalam UU MD3 tersebut berpijak pada aspek penghinaan terhadap parlemen (contempt of parliement), bukan berdasar aspek yang tanpa batas.
ADHI tidak sependapat dengan UU MD3 karena banyak pasal kontroversial di dalamnya. Salah satu persoalan yang menjadi keberatan ADHI adalah birokratisasi izin pemeriksaan anggota DPR. Karena dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan yang mempersulit legislator disentuh proses hukum.
“Sejumlah pasal kontroversial dalam Revisi UU MD3 yang disahkan DPR dan Pemerintah akan menjadikan DPR sebagai lembaga yang adikuasa, anti-kritik, dan kebal hukum, itu saya tidak setuju,” katanya.
Dalam hal ini, ADHI menyoroti adanya birokratisasi izin pemeriksaan anggota DPR yang mengatur pemeriksaan anggota DPR harus atas izin presiden, sehingga bertentangan dengan ketentuan konstitusi, di mana setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.
“Anggota dewan itu adalah sama dengan semua warga bangsa ini yang memiliki kesamaan dihadapan hukum, tidak ada yang kebal hukum,” katanya.
Karena itu, ADHI mendukung langkah sejumlah pihak yang akan mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), agar dapat membatalkan apa yang sudah disahkan lembaga legislatif itu.
Yetti juga yakin, MK dapat mengambil keputusan yang seadil-adilnya, dengan berpedoman pada sistem ketatanegaraan yang dianut bangsa ini.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo memastikan tidak akan membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3). Ia lebih memilih mendukung masyarakat untuk ramai-ramai menggugat UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Saya kira hal-hal tidak akan sampai ke sana. Yang tidak setuju, silakan berbondong- bondong ke MK untuk di- judicial review,” ujar Presiden Jokowi saat ditemui di Kompleks Asrama Haji Jakarta Timur, Rabu (21/2/2018).
Presiden Jokowi mengatakan mengamati reaksi masyarakat atas UU MD3, terutama mereka yang merasa resah.
“Saya memahami keresahan-keresahan yang ada di masyarakat. Banyak yang mengatakan, ini hukum dan etika kok dicampur aduk. Ada yang mengatakan, politik sama hukum kok ada campur aduk, ya itu pendapat-pendapat yang saya baca, yang saya dengar di masyarakat,” lanjut dia.
Kepala Negara sangat setuju bahwa kualitas demokrasi di Indonesia tak boleh turun. (tim)