Jakarta, ADHINEWS.COM,- President Asosiasi Doktor Hukum Indonesia (ADHI) Yetti Suciaty Soehardjo meminta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) melakukan kajian lebih komprehensif atas dampak dari rencana mengizinkan sejumlah universitas asing membuka perwakilan di Indonesia. Jangan sampai kebijakan ini justru menjadikan Perguruan Tinggi swasta terutama yang menengah hanya menjadi penonton di negerinya sendiri.
Yetti Soehardjo menyatakan pemberian izin kampus asing beroperasi di Indonesia dikhawatirkan justru akan mengambil alih calon mahasiswa yang selama ini menjadi tumpuan PT nasional dan lokal.
“Kami khawatir nama besar kampus asing dan jaringan internasional mereka justru membuat mereka menguasai calon mahasiswa yang selama ini menjadi pasar pendidikan tinggi disini,” ujar Yetti Suciaty Soehardjo di Jakarta, pada Rabu (31/1/2018).
Yetti meminta Kemenristekdikti mengkaji ulang ijin beroperasinya kampus asing di Indonesia dengan tujuan meningkatkan mutu perguruan tinggi (PT) dalam negeri. Sebab, masuknya kampus asing justru mengancam kampus dalam negeri, terutama PTS yang biasa menyasar mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah.
“Kalau tujuan pemerintah ingin meningkatkan mutu PT dalam negeri, ya bukan dengan cara membebaskan kampus asing beroperasi di Indonesia, tapi cukup dengan mengadopsi sistem pembelajaran dan mengundang dosen luar negeri sebagai dosen tamu,” kata Yetti.
Sebelumnya Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) akan menyatakan mosi tidak percaya kepada pemerintah. Keputusan ini disampaikan jika pemerintah terus melanjutkan rencana memberi izin perguruam tinggi asing (PTA) tanpa memberikan kesempatan perbaikan optimal terhadap PTS.
“Kami sepakat akan sampaikan mosi tidak percaya, akan membuat pernyataan resmi setelah pertemuan tanggal 31 Januari dan 8–10 Februari nanti,” tegas Ketua Aptisi, Budi Djatmiko, di Jakarta, Selasa (30/1).
Budi Jatmiko mengatakan, pada saat PTA hadir di Indonesia, maka mahasiswa yang biasa memilih kuliah di PTS menengah ke atas akan memilih PTA tersebut. Kemudiam, PTS menengah ke atas akan mulai menyasar mahasiswa dari kalangan mahasiswa menengah. “Begitu seterusnya, akan menggerus mahasiswa menengah ke bawah, nanti akhirnya PT kelas bawah mati,” jelasnya.
Oleh karena itu, Budi meminta pemerintah melakukan introspeksi diri dulu sebelum membuat kebijakan mengundang PTA masuk ke Indonesia. “Sudahkah pemerintah memberikan yang terbaik kepada PTS? Pemerintah sendiri saja belum beri yang terbaik kepada PTS,” tegasnya.
Ia menjelaskan, pemerintah baru memberi 7 persen dari total APBN buat PTS. “Hanya 7 persen untuk empat ribu lebih PTS, lalu pemerintah juga belum melakukan pembinaan sepenuhnya, tiba-tiba beri kesempatan kampus asing untuk beroperasi. Ini konyol, ga bener,” tegasnya.
Aptisi menyatakan rasa tidak percaya kepada pemerintah, sebab dalam merencanakan hal ini pun Aptisi tidak diajak bicara. “Kalau itu yang terjadi kami akan turun ke jalan besar-besaran. Coba saja pemerintah laksanakan. Kami juga bisa lakukan sesuatu bahwa kami tidak setuju dengan cara semacam itu,” tandas Budi.
Ia mendesak pemerintah untuk memperkuat PTS dalam negeri terlebih dahulu sebelum mengundang pihak asing masuk. “Tidak apa-apa kami dilawan dengan asing, asal kami diperkuat dulu. Jangan seperti ini, tidak dikasih apa-apa terus dibunuh,” ungkap Budi.
Dia beralasan selama ini angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi setiap tahunnya di Indonesia hanya mencapai 30,1 persen. Angka itu tidak kunjung naik sejak tahun-tahun sebelumnya.
“Jika perguruan tinggi asing diizinkan, tentu akan berebut padahal APK kita setiap tahun cuma segitu. Saya kira ini kebijakan yang ngawur atau tidak tepat,” kata dia.
Menurut dia, solusi untuk mengerek angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi seharusnya dengan meningkatkan perekonomian masyarakat dan bukan mengizinkan kampus asing beroperasi di Indonesia.
Dia mengakui perkuliahan perguruan tinggi asing selama ini memang diminati oleh para mahasiswa dari kalangan menengah atas. Tapi, pembukaan perwakilan universitas asing di Indonesia belum tentu menarik minat segmen calon mahasiswa tersebut.
“Orang kuliah ke luar negeri, tujuannya bukan hanya perguruan tingginya saja. Tetapi ingin merasakan pengalaman di luar negeri, jadi bukan semata-mata tujuannya untuk kuliah di perguruan tinggi itu,” kata Budi.
Selain itu, Budi mengaku khawatir jika perguruan tinggi asing diperbolehkan beroperasi di Indonesia, maka perguruan tinggi tingkat atas akan memangsa pasar mahasiswa dari kampus kelas menengah. Setelah itu, perguruan tinggi kelas menengah akan memangsa pasar kampus level kecil.
“Perguruan tinggi kecil yang menjadi korban, karena akan kehilangan pasar (mahasiswa),” kata dia. “Sebaiknya pemerintah fokus pembenahan kualitas perguruan tinggi negeri (PTN). Kasih bantuan sebanyak-banyaknya untuk riset. Biarkan perguruan tinggi swasta (PTS) mencari uang sendiri dengan diperbolehkan menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya. Tentunya tanpa mengorbankan kualitas.”
Pada hari ini, Menristek Dikti Mohamad Nasir menyatakan ada lima sampai 10 universitas asing yang sedang bersiap membuka perwakilan di Indonesia. “Paling tidak ada sekitar lima hingga sepuluh perguruan tinggi asing. Kami menargetkan bisa beroperasional pada pertengahan tahun ini,” kata Nasir.
Nasir mencontohkan beberapa perguruan tinggi asing yang tertarik beroperasi di Indonesia ialah Universitas Cambridge dari Inggris serta Universitas Melbourne dan Universitas Quensland dari Australia.
Nasir menjelaskan Kemenristek Dikti membuka peluang operasional perguruan tinggi asing di Indonesia dengan beberapa syarat. Perguruan tinggi asing, yang bisa beroperasional di tanah air, harus bekerja sama dengan kampus swasta dari dalam negeri. Pemerintah juga sudah menentukan lokasinya sekaligus merumuskan ketentuan mengenai program studi prioritas. Untuk program studi prioritas adalah sains, teknologi, keinsinyuran, matematika, bisnis, teknologi, dan manajemen.
“Intinya adalah kolaborasi dengan perguruan tinggi kita. Perguruan tinggi asing ini masuk ke perguruan tinggi swasta, jadi tidak diatur oleh pemerintah,” jelas dia. (tim)