Bandung, ADHINEWS.COM,- Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung menjatuhkan vonis Buni Yani bersalah dalam kasus pelanggaran pidana terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hakim menghukum satu tahun enam bulan penjara untuk Buni Yani. Putusan ini disampaikan hakim dalam sidang di Gedung Perpustakaan dan Kearsipan Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (14/11/2017).
Dalam amar putusannya, majelis hakim PN bandung menyatakan Buni Yani terbukti bersalah dalam kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Buni Yani dinyatakan bersalah karena menyebarluaskan video yang provokatif yang bernada sentimen agama.
Video pidato bekas Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu sengaja diedit dan dipotong Buni untuk menciptakan perasaan kebencian dan emosi.
“Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa Buni Yani selama 1 tahun enam bulan,” kata Majelis Hakim yang diketuai M Saptono, Selasa (14/11/2017).
Majelis hakim menilai, Buni Yani terbukti melanggar Pasal 32 ayat 1 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Mengadili, menyatakan terdakwa Buni yani terbukti melakukan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik,” ujar Hakim.
Putusan tersebut lebih rendah dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut agar Buni Yani divonis dua tahun penjara ditambah denda Rp 100 juta subsider tiga bulan.
Majelis hakim menilai, perbuatan Buni Yani telah menyebabkan keresahan diantara umat beragama. Hal tersebut menjadi poin yang memberatkan hukuman bagi Buni. Di samping itu, Buni dianggap tidak mengakui perbuatannya selama persidangan.
“Yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum dan memilki tanggungan,” ujar Saptono.
Kendati demikian, Hakim tidak memerintahkan penahanan terhadap Buni Yani karena terdakwa mengajukan banding sehingga keputusan belum berkekuatan hukum tetap.”Oleh karena upaya hukum, putusan ini belum keputusan hukum tetap,” ujar hakim.
Atas putusan tersebut, tim kuasa hukum Buni Yani akan mengajukan banding.”Kami akan banding karena fakta-fakta persidangan tidak sesuai. Karena tadi ribut, saya tidak mendengar perintah apapun soal eksekusi,” ujar Aldwin Rahadian.
Sementara, jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir atas vonis yang dijatuhkan majelis hakim terhadap terdakwa.
Untuk diketahui, sidang perdana kasus Buni Yani ini digelar pada Selasa (13/6/2017) di PN Bandung. Majelis hakim yang menyidangkan perkara Buni Yani adalah M Saptono, M Razzad, Tardi, Judjianto Hadi Laksana, dan I Dewa Gede Suarditha.
Kasus penyebaran video bermula saat Buni Yani mengunggah video pidato Basuki Tjahaja Purnama di Kepulauan Seribu, 27 September 2016, di laman Facebook miliknya. Tak hanya memposting, Buni pun membubuhi keterangan transkrip video pidato Ahok tersebut yang dinilai tidak sesuai dengan transkrip yang asli. Buni menghilangkan kata “pakai” saat Ahok menyinggung surat Al Maidah.
Muannas Alaidid yang melaporkan Buni Yani mengatakan terdakwa ujaran kebencian itu pantas diberikan hukuman berat. “Sangat pantas bila Buni Yani dihukum berat melebihi tuntutan jaksa penuntut umum dua tahun Penjara,” kata Muannas, Senin, 13 November 2017.
“Ia tidak menyebutkan sumber seperti yang diunggahnya dalam akun Facebooknya.” Perbuatan itu, kata Muannas, dilarang pasal 32 UU ITE. “Tuntutan Jaksa terbukti,” sambung Muannas.
Kedua, menurut Muannas Buni Yani sengaja menghilangkan kata ‘pakai’ dalam transkrip akunnya. Konten video pidato Basuki Tjahaja Purnama diterjemahkannya sendiri melalui tulisan. “Penghilangan kata penting ini (“pakai”) harus dianggap sebagai bentuk penyesatan opini pembaca,” kata Muannas. Karena tanpa kata “pakai” maksud pengucap pidato menjadi tidak seperti itu.
Kesalahan penulisan itu, kata Muannas, sudah diingatkan berkali-kali di timeline Facebook Buni Yani sesuai kesaksian Nong Darol Mahmada dan Mohamad Guntur Romli di persidangan. “Sayangnya Buni Yani bukan menyesali kekeliruannya, malah terkesan menantang.”
Sementara itu pengamat hukum Dr Urbanisasi menilai vonis hakim terhadap Buni Yani merupakan pembelajaran agar pengguna media sosial tidak mudah mengumbar ujaran kebencian. Urbanisasi mensinyalir belakangan ini banyak ujaran kebencian berupa video ceramah dan kata-kata yang mencoba menarik sentimen agama untuk memecah belah bangsa ini dan mendikotomi agama.
Menurut Doktor alumni Universitas Hasanuddin Makassar ini, dari hukuman berat itu diharapkan publik dapat memberikan efek jera bagi pengguna sosial media agar bersikap hati-hati dan tidak memberi tempat bagi penyebar fitnah dan hoax, terutama ujaran kebencian dan adu domba, maupun SARA.
Fakta di persidangan membuktikan terdakwa melakukan kesalahan fatal, melanggar larangan yang diatur UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Urbanisasi menilai hakim menghukum terdakwa dalam kasus ini karena provokatif. Kirimannya berupa video pidato Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Kepulauan Seribu dalam durasi 31 detik, berbeda dengan yang resmi diunggah Pemprov DKI aslinya 1 jam 48 menit.
Dr Urbanisasi juga menilai selain perbuatan itu dianggap secara sengaja, juga harus dinilai sesuai rumusan delik ujaran kebencian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat 2 UU ITE. “Saya kira majelis hakim sudah adil dan tepat dalam menerapkan pasal-pasalnya,” pungkas Urbanisasi. (tim)