Jakarta, ADHINEWS.COM,- Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tetap keukeuh tidak akan bersedia hadir memenuhi undangan Panitia Khusus KPK Komisi III DPR. Politisi senayan menuduh ketidakhadiran pimpinan KPK merupakan bentuk pembangkangan konstitusi.
Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu menuding KPK sekarang telah menampilkan diri sebagai lembaga paling hebat dan paling benar, sehingga tidak mau diawasi. Selain itu, KPK sudah tidak percaya pada sistem yang dibangun bersama atas nama pemberantasan korupsi.
“KPK telah melakukan pembangkangan konstitusi. KPK sedang mengajarkan kita untuk tidak patuh sama konstitusi dan hukum,” ujar Masinton dalam diskusi di Gedung DPR bersama politisi PKS yang juga Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, Selasa (14/11/2017).
Menurut Masinton kalau KPK berbuat demikian, maka wajar saja kalau ada juga orang yang tidak mau patuh datang kalau dipanggil ke KPK. Hanya saja dia tidak memerinci siapa yang dimaksud mereka yang tidak patuh kalau dipanggil KPK.
Sementara itu, Fahri Hamzah mengatakan bahwa terkait tidak hadirnya Ketua DPR Setya Novanto untuk menghadapi penyidikan oleh penyidik KPK dalam kaitannya sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP, Fahri mengatakan bahwa sosok Novanto merupakan orang sakti (hebat-red). Dia yakin Novanto akan punya kemampuan yang lebih hebat dalam menghadapi KPK.
“Novanto itu orang sakti. Novanto kok dilawan,” ujarnya.
Hanya saja Fahri tidak menjelaskan seperti apa kekuatan Novanto dalam menghadapi kasus korupsi yang tergolong sangat besar tersebut.
Lebih jauh Fahri mengatakan sudah saatnya KPK dihilangkan karena memperkuat institusi yang ada seperti lembaga kepolisian dan jaksa jauh lebih penting. Apalagi mereka bekerja dalam cakupan yang lebih luas di seluruh pelosok Indonesia.
“KPK kerjanya hanya nyadap, nguping. SOP-nya tak pernah diserahkan ke Komisi III DPR,” ujarnya.
Fahri menambahkan bahwa di Korea Selatan lembaga semacam KPK telah dihilangkan karena mulai mengancam negara tersebut dari berbagai aspek, termasuk aspek ekonomi.
Pandangan berbeda disampaikan pengamat hukum Universitas Tarumanegara Dr Urbanisasi. Ia justru melihat ketidakhadiran pimpinan KPK untuk menjaga independensi.
“Ada kode etik lembaga penegak hukum tidak boleh bertemu dengan pihak-pihak yang terindikasi dalam kasus korupsi. Kebetulan di lembaga DPR ada sejumlah pimpinan dan anggotanya dijadikan tersangka dalam kasus yang tengah ditangani KPK,” ujar Urbanisasi di Jakarta Selasa (14/11/2017)
Kemungkinan, lanjut Urbanisasi, pimpinan KPK tidak ingin timbul conflict of interest. Disatu pihak tengah menangani perkara yang melibatkan sejumlah anggota dewan namun dipihak lain justru tengah menjadi incaran anggota dewan yang menggunakan hak angketnya untuk menekan KPK.
Menurut Urbanisasi keberadaan KPK dalam menangani kasus besar harus tetap dijaga independensinya dari intervensi politik dan kepentingan.
“Saat ini KPK tengah menangani kasus mega korupsi e-KTP dengan sejumlah anggota dewan menjadi tersangka, sangat aneh dan lucu ketika kemudian KPK menemui DPR meski dalam konteks lain namun publik pasti akan mencurigai dan bertanya-tanya, ada apa KPK kok ke DPR,” ujar Urbanisasi.
Lain halnya jika KPK tidak sedang menangani kasus korupsi e-KTP yang banyak melibatkan oknum anggota DPR, maka sah-sah saja KPK berkoordinasi dengan Pansus KPK DPR.
“Jadi kalau kemudian KPK bertemu dengan DPR maka akan sarat unsur kepentingan politik dan dugaan intervensi politik,” katanya. (tim)