Jakarta, ADHINEWS.COM,- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi KTP berbasis elektronik. Sebelumnya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini “dibebaskan” atas status tersangkanya dalam putusan Pra Peradilan. Hakim menilai alat bukti yang dimiliki KPK masih lemah.
Tim Penyidik KPK pun bekerja keras untuk memenuhi alat bukti dan menyempurnakan penetapan tersangka. Setelah 26 hari bekerja, tim penyidik KPK akhirnya menetapkan Setya Novanto kembali menjadi tersangka.
Pengamat Hukum Universitas Tarumanegara Dr Urbanisasi menyarankan kepada KPK agar menerapkan due process of Law dengan baik. Semua prosedur penetapan tersangka harus dipenuhi secara sempurna agar kasus e-KTP ini segera bisa memuaskan pertanyaan publik dan tersangka tidak akan bisa lolos lagi dalam gugatan Pra Peradilannya kembali.
“Kekalahan dari Pra Peradilan yang sebelumnya bisa menjadi pengalaman bagi KPK untuk lebih teliti dalam menyusun alat bukti, jika perlu melakukan gelar perkara untuk mensimulasi keterkaitan masing-masing pihak dalam kasus korupsi e-KTP ini,” kata Doktor alumni Universitas Hasanudin ini di Jakarta, Sabtu (11/11/2017)
Menurut Urbanisasi kasus e-KTP bukan perkara mudah. Kasus ini melibatkan jaringan politik yang besar dan kuat. “Sehingga jika KPK tidak berhati-hati dalam menyusun dan meneliti kasusnya bisa menjadi bumerang, karena yang dihadapi kekuatan politik,” kata Urbanisasi.
Tapi Urbanisasi yakin para penyidik KPK pasti sudah banyak belajar dari pengalaman saat menghadapi Pra Peradilan. Sehingga penetapan Setnov yang kedua kalinya ini tidak mungkin akan dilakukan dengan terburu-buru dan gegabah. “Tidak mungkin KPK mengambil resiko besar jika penetapan status tersangka itu tidak melalui sebuah kajian yang mendalam dan peran tersangka telah memenuhi unsur-unsur melawan hukum,” katanya.
Ditempat terpisah, Pengamat politik dari Exposit Srategic Arif Susanto sependapat dengan pandangan Urbanisasi. Ia mengatakan jangan sampai prosedur penegakan hukum mengalahkan substansi dari penegakan hukum itu sendiri.
“Semestinya memang dua-duanya jalan dan harapan saya KPK memenuhi janjinya untuk mengusut perkara korupsi e-KTP yang begitu besar itu secara tuntas. Kita ingat pernyataannya Johanes Marliem sebelum meninggal, Setya Novanto itu bukan yang paling tinggi dari pihak-pihak yang terlibat di dalam korupsi ini,” ujarnya, Jumat (10/11/2017).
Sehingga, kata dia, KPK masih punya kewajiban untuk menelusuri kebenaran pernyataan tersebut. Harapannya ke depan penanganan perkara berlangsung secara simultan dan semua yang terlibat bisa diseret ke pengadiln.
“Agar semuanya terbongkar, jangan-jangan mereka yang begitu vokal menyuarakan pentingnya pengakhiran keberlangsungan KPK itu justru adalah orang yang terlibat menjadi bagian dari konspirasi besar korupsi e-KTP ini,” ujarnya.
Di sisi lain, terkait dua pimpinan KPK yaitu Ahmad Rahardjo dan Saut Situmorang yang sedang menghadapi masalah hukum di kepolisian menurutnya tidak akan mengganggu kinerja lembaga antirasuah itu. Pasalnya, komisioner KPK sifatnya kolektif kolegial tidak bergantung pada satu individu tertentu.
Di sisi lain, proses penyidikan KPK dilakukan secara kelembagaan sehingga ada peran penyidik yang tidak akan terganggu masalah tersebut.
“Saya lebih melihat pengaruh psikologis yaitu menjadi pukulan kesekian untuk KPK. Karena itu saya berharap dalam waktu dekat KPK bisa bertemu dengan presiden untuk bersama-sama memberi penegasan yang saat ini kita tunggu. Penegasan komitmen terhadap pemberantasan korupsi sekaligus juga perintah presiden supaya kepolisian mengakselerasi penanganan kasus penyiraman Novel Baswedan,” tuturnya.
Sikap politik presiden terhadap KPK menurutnya ditunggu masyarakat. Hal itu dapat memberi pesan kepada siapapun supaya tidak lagi mencoba-coba untuk melemahkan KPK dengan cara apapun.
Selain itu, dia pun menilai penetapan Setya Novanto sebagai tersangka dibarengi dengan penahanan. Hal itu akan menjadi langkah baik bagi KPK sekaligus memberi pesan KPK tegas, tidak gentar, dan berkomitmen terhadap upaya pemberantasan korupsi terutama yang melibatkan politisi yang berpengaruh. (tim)