Jakarta, ADHINEWS.COM,- Dalam kegiatan penindakan kasus korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seringkali melakukan tindakan penyitaan harta atau barang bukti milik tersangka. Penyitaan tersebut dilakukan KPK tanpa perlu minta ijin dari Ketua Pengadilan. Sahkah penyitaan barang bukti tanpa ijin Pengadilan?
Masih banyak orang mempersoalkan keabsahan penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh KPK.
Vice Presiden Asosiasi Doktor Hukum Indonesia (ADHI) Dr Marsidin Nawawi, SH, MH mengatakan tidak ada yang salah dalam aturan prosedur penyitaan barang bukti. Karena ada dua versi pandangan Undang-Undang.
“Apakah penyitaan itu harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1) KUHAP, atau tidak diperlukan izin sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU KPK,” ujar Dr Marsidin Nawawi di Jakarta, Sabtu (21/10/2017)
Bahkan lebih tegas lagi, lanjut Dr Marsidin, dinyatakan dalam Pasal 47 ayat (2) bahwa “Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini”.
Menurut Irene Putri, Plt Unit Pelacakan Aset Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi KPK (Labuksi) dalam diskusi yang digelar di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (11/10/2017) bahwa “KPK tidak perlu izin Ketua Pengadilan untuk menyita barang bukti, termasuk sita eksekusi uang pengganti”.
Menanggapi statement Irene, Dr Marsidin mengatakan, pandangan tersebut tentu didasari oleh ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang secara tegas menyatakan tidak diperlukan izin.
“Bahkan segala peraturan yang mengatur mengenai penyitaan, dinyatakan tidak berlaku berdasarkan UU KPK,” sebutnya.
Ketentuan pasal ini, kata Dr Marsidin, mencirikan tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime. Dimana penyitaan barang bukti tidak diperlukan izin itu sebagai wujud dari extraordinary effort yang dimiliki oleh KPK.
“Tidak ada yang salah dalam statement itu sepanjang yang dimaksud adalah penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh penyidik KPK untuk kepentingan pembuktian dipersidangan,” kata Dr Marsidin.
Dimana, lanjutnya barang bukti itu akan dianalisis dan divalidasi kembali oleh Jaksa Penuntut Umum sebelum diajukan kepersidangan sebagai barang bukti untuk kemudian oleh hakim akan ditetapkan statusnya.
Kecuali itu, perlu kiranya diklarifikasi secara cermat, terkait statement Irene Putri yang menyatakan “termasuk sita eksekusi uang pengganti”.
“Artinya sita eksekusi uang pengganti itu tidak diperlukan izin Ketua Pengadilan Negeri seperti halnya penyitaan barang bukti untuk keperluan pembuktian dipersidangan,” katanya.
Namun Dr Marsidin berpandangan bahwa penyitaan barang bukti untuk kepentingan pembuktian dengan sita eksekusi uang pengganti untuk pembayaran uang pengganti itu tidak sama. Baik arti maupun tujuannya.
Menurut Dr Marsidin, penyitaan harta terpidana dilakukan sebagai upaya paksa oleh Jaksa KPK pada waktu yang telah ditentukan sesuai bunyi putusan pengadilan, yaitu selama 1 (satu) bulan sejak putusan Berkekuatan Hukum Tetap (inkraht), jika uang pengganti yang dibebankan sebagai pidana.
Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan serta dilakukan tanpa rambu-rambu terkait
Jika barang yang disita KPK dianggap oleh Tersangka tidak terkait sama sekali dengan tindak pidana yang disangkakan/dituduhkan kepadanya, maka Tersangka memiliki hak untuk mengajukan upaya praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP.
Dan jika setelah Pengadilan memeriksa pokok perkara, menyatakan Terdakwa bersalah, Majelis Hakim juga dapat menilai apakah barang-barang yang disita oleh KPK benar hasil dari tindak pidana korupsi yang didakwakan.
Jika memang Majelis Hakim yakin dan menganggap demikian, maka barang yang disita dapat dinyatakan disita oleh Negara.
Namun apabila Majelis Hakim berpendapat barang yang disita tidak ada hubungan dengan tindak pidana yang didakwakan, maka Majelis Hakim dapat memerintahkan untuk mengembalikan barang-barang yang disita tersebut kepada Terdakwa atau yang berhak.
Kasus gugatan atas Penyitaan Barang Bukti yang dilakukan KPK pernah terjadi. Adalah Hakim Syarifuddin yang menggugat KPK terkait dengan pengembalian aset yang disita oleh KPK.
Dalam Putusan MA RI No. 2580 K/Pdt.G/2013 tertanggal 13 Maret 2014 mengenai perkara Hakim Syarifuddin yang menggugat KPK terkait dengan pengembalian aset yang disita oleh KPK, Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan bahwa barang-barang yang disita oleh KPK dalam kasus Pidana Hakim Syarifuddin ternyata adalah barang milik pribadi dan tidak terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh Pemohon (Hakim Syarifuddin).
Sehingga dalam putusan ini Mahkamah Agung menghukum Tergugat (KPK) untuk mengembalikan barang-barang hasil sitaan yang tidak terkait dengan tindak pidana serta membayar ganti kerugian imateriil kepada Penggugat (Syarifuddin) sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
KPK juga pernah digugat dalam kasus yang sama. Adalah Muhammad Nazaruddin yang menggugat Pra Peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengenai keabsahan penyitaan tas miliknya oleh KPK.
KPK saat itu berdalih berdasar pasal 47 Undang-Undang KPK, penyidik dalam melakukan penyitaan tidak perlu izin dari ketua pengadilan negeri. Oleh karenanya KPK minta Pengadilan menolak gugatan Nazaruddin. Penyidik juga diwajibkan membuat berita acara penyitaan yang antara lain memuat tandatangan dan identitas dari pemilik barang atau orang yang menguasai barang tersebut.
Penyitaan adalah salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), yaitu dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, Pasal 38 s/d 46 KUHAP, Pasal 82 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP dalam konteks Praperadilan, Pasal 128 s/d 130 KUHAP, Pasal 194 KUHAP, dan Pasal 215 KUHAP.
Definisi dari Penyitaan telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, yaitu: “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”
Oleh karena Penyitaan termasuk dalam salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang dapat melanggar Hak Asasi Manusia.
Maka sesuai ketentuan Pasal 38 KUHAP, Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, namun dalam keadaan mendesak, Penyitaan tersebut dapat dilakukan penyidik lebih dahulu dan kemudian setelah itu wajib segera dilaporkan ke Ketua Pengadilan Negeri, untuk memperoleh persetujuan. (tim)