Jakarta, ADHINEWS.COM,- Salah satu poin penting dijadikan dasar bagi Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh menggugat Pra Peradilan atas statusnya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembelian helikopter Agusta Westland 101 (AW-101). Baik penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun POM TNI tidak menggunakan proses kewenangan Peradilan Koneksitas.
Pasalnya dalam kasus ini ada unsur TNI yang juga ditetapkan sebagai tersangka. Ini menjadi materi baru yang harus dihadapi KPK dari beberapa materi yang diajukan.
“Ada satu hal yang baru yang diajukan di praperadilan ini, yaitu terkait dengan proses praperadilan koneksitas. Itu yang diargumentasikan di sini,” ungkap Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (18/10/2017).
Penggugat mempermasalahkan penanganan perkaranya oleh lembaga tunggal, yakni KPK, seharusnya yang ditempuh adalah peradilan koneksitas. Yaitu peradilan menyangkut delik penyertaan antara yang dilakukan orang sipil bersama orang militer, seperti diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHAP.
“Sementara KPK menggunakan undang-undang yang bersifat khusus, yang diatur misalnya di Pasal 42 UU KPK (UU No 30 Tahun 2002), yang pada intinya KPK mengkoordinir atau melakukan untuk perkara-perkara dengan pelaku yang berasal dari militer dan nonmiliter, itu KPK bisa mengkoordinir,” terang Febri.
Namun KPK mantap menghadapi proses praperadilan yang akan dimulai Jumat (20/10/2017) dengan lebih dulu menyusun strategi, di antaranya mempersiapkan bukti-bukti dan kapan bukti tersebut akan dihadirkan di persidangan.
Dalam kasus tersebut, KPK bekerja sama dengan POM TNI. Ada lima tersangka yang ditetapkan POM TNI, tiga orang di antaranya terlebih dulu ditetapkan, yakni Marsma TNI FA, yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa; Letkol WW, sebagai pejabat pemegang kas; dan Pelda S, yang diduga menyalurkan dana-dana terkait dengan pengadaan kepada pihak-pihak tertentu.
Menyusul kemudian Kolonel Kal FTS, berperan sebagai WLP. Pejabat tertinggi TNI AU yang sempat dijadikan tersangka ada nama Marsda SB, yang saat itu menjabat sebagai asisten perencana Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU).
Sementara itu, KPK menetapkan Irfan sebagai tersangka pertama dari swasta pada Jumat (16/6). Irfan diduga meneken kontrak dengan Augusta Westland, perusahaan joint venture Westland Helicopters di Inggris dengan Agusta di Italia, yang nilainya Rp 514 miliar. Namun, dalam kontrak pengadaan helikopter dengan TNI AU, nilai kontraknya Rp 738 miliar sehingga terdapat potensi kerugian keuangan negara sekitar Rp 224 miliar.