Jakarta, ADHINEWS.COM,– Dalam memutuskan perkara Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU disarankan tetap menonjolkan prinsip due process of law. Pasalnya institusi independen yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan UU no. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini menjadi tumpuan keadilan bagi perkembangan bisnis di Indonesia.
Salah satu kajian krusial yang menjadi kunci saat ini adalah soal kekuatan pembuktian. Banyak kalangan berpendapat jika kekuatan pembuktian menggunakan pembuktian tidak langsung sebagai bukti petunjuk. dikhawatirkan tidak maksimal. Namun KPPU harus banyak menelaah persoalan ini.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha FHUI Ditha Wiradiputra mengatakan, bukti petunjuk merupakan bukti yang ditemukan di tengah proses persidangan serta punya keterkaitan dengan bukti lainnya.
Sementara itu, bukti tidak langsung merupakan bukti komunikasi ataupun ekonomi yang menunjukkan dukungan benar tidaknyaa terjadi pelanggaran persiangan usaha.
“Bukti tidak langsung ini adalah bukti ekonomi seperti statistik yang menunjukkan bahwa benar terjadi pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999. Penggunaan bukti tidak langsung oleh pengadilan selama ini masih belum jelas,” katanya, Rabu (18/10/2017).
Dia mengakui, dalam perkara persaingan usaha yang ditangani KPPU, untuk menemukan bukti langsung tidaklah mudah, mengingat kewenangan untuk menggeledah termasuk menyita dari pelaku usaha tidak dimiliki Komisi.
Ditha mengatakan konsistensi dalam due process of law, bisa dilihat ketika KPPU hanya fokus pada persekongkolan secara horizontal. Sebab inilah ranah yang menjadi kewenangan wasit persaingan usaha ini.
Untuk persekongkolan vertikal, sebaiknya langsung diserahkan pada penegak hukum lainnya, karena ruang lingkupnya berbeda.
“Makanya dalam amendemen UU No. 5/1999 sepertinya penting diatur mengenai keduduan dan cara kerja pembuktian dengan menggunakan bukti tidak langsung,” tambahnya.
Terpisah, M. Yahdi Salampessy dari Total Consulting Law Office, mengatakan dalam menggunakan pembuktian tidak langsung, Komisi harus yakin terlebih dahulu. Pasalnya, pembuktian ini merupakan bukti yang tidak langsung menunjuk fakta dan masih merupakan suatu dugaan.
Dia mencontohkan dalam perkara tender, pembuktian seringkaali menggunakan bukti indirect evidence untuk menghukum pelaku usaha. Padahal, adanya kesamaan dokumen, sejarah kerja sama, dan kesamaan yang lain, belum tentu membuktikan bahwa telah terjadi persengkokolan tender.
“Sesungguhnya tidak tepat apabila dijadikan satu-satunya bukti karena harus dibuktikan dengan bukti yang sangat cukup,” katanya.
Dalam perkembangan bisnis, terlihat saat ini sesama pelaku usaha begitu agresif bersaing. Di sisi lain, pelaku usaha memang melakukan kolusi. Menurutnya, dengan adanya dua asumsi tersebut, tampak menunjukkan gejala yang serupa.
“Makanya kalau menggantungkan pada bukti tidak langsung, khawatir sebenarnya apa yang dilakukan pelaku usaha tersebut bukan pelanggaran,” tambahnya.
Sementara itu, akademisi Universitas Gadjah Mada Paripurna P. Sugarda, mengatakan pengaturan mengenai ketentuan pembuktian tidak langsung tidak perlu dibuat.
“Memang harus hati-hati, tetapi kalau dalam suatu perkara pertimbangannya sudah jelas dan terang, maka tidak masalah. Majelis komisi maupun hakim memang diharapkan memiliki kredibilitas dan kapasitas dalam memutus perkara yang mengacu bukti tidak langsung,” tambahnya.
Sebelumnya, Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengakui bahwa pembuktian tidak langsung menjadi alat untuk membuktikan terjadinya suatu perkara persiangan usaha.
“Bisa untuk kartel maupun tender. Memang belum diakui dalam sistem hukum kita, tetapi memang perlu waktu untuk diakui, karena negara lain menggunakannya,” tuturnya. (tim)