Presiden Asosiasi Doktor Hukum Indonesia (ADHI) Dr Yetti Suciaty Soehardjo didampingi Dr Marwah Diah (Pembina ADHI), Dr Makhli Riyadi (Ketua ADHI DPD Kal Sel), Dr Marsidin Nawawi, SH.MH (Vice President ADHI), dan Dr Adjat Sudrajat usai bersilaturahmi dengan Jaksa Agung Pidana Khusus di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Kamis (12/10/2017)
Jakarta, ADHINEWS.COM,- Presiden Asosiasi Doktor Hukum Indonesia (ADHI) Dr. Yetti Suciaty, SH MBA menilai pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Tindak Pidana Korupsi bagian dari upaya serius Polri memerangi kejahatan korupsi atau White Collar Crime. Institusi yang digagas Kapolri Jenderal Tito Karnavian ini bisa menjadi mitra bagi KPK untuk bahu membahu menuntaskan kasus kejahatan korupsi yang marak di negeri ini.
“Saya lihat ini ide brilian dari pak Tito (Jenderal Tito Karnavian,red), beliau punya komitmen kuat bahwa korupsi harus diberantas,” ujar Yetty Suciaty ketika dihubungi di Jakarta, Sabtu (14/10/2017)
Menurut Yetti, tidak akan ada tumpah tindih antara densus dengan KPK.
Justru kehadiran Densus Tipikor Polri akan menjadikan motivasi kuat bagi KPK untuk kian meningkatkan kinerjanya dalam memberantas korupsi. Mereka bisa berlomba-lomba dalam memberantas kejahatan kerah putih.
“Berlomba-lomba dalam kebaikan kan bagus, mari kita lihat secara positif. Karena penguatan peran Polri dalam pemberantasan korupsi hal penting. Semakin banyak institusi penegak hukum memburu koruptor akan semakin bagus, tentu orang akan melakukan korupsi akan berpikir dua kali, karena selain KPK kini ada Densus Tipikor yang akan mengawasi kejahatan korupsi,” kata Yetti.
Anggaran Rp 2,6 triliun yang diajukan Polri, lanjut Yetti, tidak ada yang mahal untuk pemberantasan korupsi. “Menurut saya dengan tugas yang mulia, tidak menjadi persoalan jika polri mengajukan anggaran Rp 2,6 triliun,” kata Doktor yang juga penyandang gelar Master Bussiness Administration (MBA).
Menurut Yetti, Densus Tipikor yang direncanakan beroperasi pada bulan terakhir tahun 2017 bukanlah institusi baru, tapi hanya sebuah unit di tubuh kepolisian.
Jadi Densus Tipikor tidak mempunyai kewenangan baru, tetap sama dengan kewenangan polisi. Undang-undang yang menjadi rujukan adalah KUHP, KUHAP dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Jadi, unit itu tidak mempunyai kewenangan penuntutan. Penuntutan tetap menjadi wilayah kejaksaan.
Karena, lanjut Yetti, polisi juga mempunyai power memberantas korupsi, karena memiliki sarana yang cukup lengkap. Mempunyai jaringan dari pusat sampai kecamatan. Kerja polisi tersambung dengan kejaksaan yang ada di seluruh daerah.
Dia juga yakin Densus Tipikor tidak mudah diintervensi dalam penanganan perkara. Berbeda dengan penanganan sekarang. Densus tentu mempunyai sistem yang bagus dalam menangani perkara, sehingga tidak mudah diintervensi.
Sebelumnya, Polri mengajukan anggaran kinerja Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi senilai Rp2,6 triliun dan meminta Komisi III DPR mendukung pengajuan anggaran tersebut karena merupakan kebutuhan dalam pembentukan unit khusus tersebut.
“Anggaran Densus Tipikor dihitung, pada rapat sebelumnya sudah disampaikan perlu dipikirkan tentang satu penggajian kepada para anggota agar sama dengan di KPK,” kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam Rapat Kerja Komisi III DPR, di Gedung Nusantara III, Jakarta, Kamis (12/10/2017).
Dia mengatakan Polri juga telah menghitung anggaran untuk penyelidikan dan penyidikan dengan menggunakan sistem index dan sistem ad cost, yang merupakan pengkajian yang dilakukan KPK yang bisa diterapkan Densus Tipikor.
Tito menjelaskan anggaran untuk belanja pegawai sebanyak 3.560 personel mencapai Rp786 miliar, belanja barang untuk operasional penyelidikan dan penyidikan senilai Rp359 miliar.
“Lalu belanja modal sebesar Rp1,55 triliun termasuk membuat sistem dan kantor serta pengadaan alat penyelidikan, penyidikan, pengawasan. Karena itu setelah ditotal mencapai Rp2,6 triliun,” ujarnya.
Jenderal Tito Karnavian mengatakan, hadangan utama dalam menangani kasus korupsi adalah membutuhkan waktu yang lama.
Waktu yang lama itu biasanya karena berkas perkara yang bolak-balik dikembalikan Kejaksaan. ”Maka sistem ini harus diubah agar tidak memboroskan waktu,” ujarnya. Yang menjadi usulan adalah satu atap antara Densus Tipikor dengan Jaksa. Namun, bila opsi itu tidak memungkinkan, maka tim khusus bisa dibentuk.
Tim khusus kejaksaan ini fungsinya untuk menyamakan pandangan. ”Sehingga, dari awal penanganan kasus sudah bareng. Tidak kemudian berbeda pandangan,” terangnya. (edo)